Rabu, 20 Oktober 2010

Kangsa adu jago, Pandawa di Pagombakan lanjutan kisah imajiner wayang jawa

Pagombakan (lanjutan)


     Salah satu upaya Mahapatih Sangkuni untuk menjauhkan pengaruh Mendiang Parabu Pandu Dewanata dari kawula wadya hastinapura adalah menempatkan Dewi Kunti dan para putranya, Pandawa di Pagombakan. Jauh dari kegiatan pemerintahan kerajaan dan pergaulan dengan para penguasa dan pemimpin negara. Juga menjauhkan Pandawa dari kawula wadya Hastinapura. Namun hasilnya sebaliknya, perlakuan terhadap peninggalan maharaja yang sangat dicintai rakyatnya ini justru makin meningkatkan rasa iba dan kasih sayang yang tumbuh subur di kalangan para sesepuh kerajaan dan para kawula wadya. Dan sebaliknya malah menanamkan rasa kurang percaya kepada setiap tindakan dan kebijakan yang dilaksanakan Mahapatih Sangkuni yang selalu mengatas-namakan perintah Maharaja Prabu Destarastra.
     Pagi itu, Dewi Kunti Talibranta sedang duduk di beranda usai menemani putranya Panenggak Pandawa, Bima yang rajin mencangkul memelihara tanaman pohon buah dan bunga-bungaan di taman halaman Pagombakan. Sambil mengamati sepasang angsa putih berenang di air kolam  yang bening menampakkan ikan-ikan berseliweran warna-warni.
     Datang menghadap, putra sulung Puntadewa si Pembarep menyusul kemudian si bungsu kembar Nakula dan Sadewa. Bima datang terakhir menyusul bergabung setelah mandi, membersihkan badan. 
    Semenjak kanak-kanak hingga remaja, apa lagi sepeninggal mendiang ayahandanya, pada kesempatan berkumpul demikian, biasanya mereka mendapatkan cerita-cerita dari ibunda Dewi Kunti tentang kisah-kisah keteladanan para pendahulu, leluhur para Pandawa. Mulai dari pertapaan Saptaharga, hingga kisah-kisah pada jamannya kerajaan Ayodya ketika Prabu Ramawijaya dan Adindanya Raden Laksmana dibantu Raja Sugriwa dengan bala tentara wanaranya menaklukkan Raja Raksasa Dasamuka dari Alengkadiraja.  Sungguh seorang ibu bijaksana yang menyayangi putra-putranya, Dewi Kunti yang sangat menguasai kisah-kisah para ksatria jaman dahulu itu, juga pandai mengutip ajaran-ajaran budi pekerti luhur yang dianut oleh para tokoh pendahulu dan leluhur raja-raja Hastinapura. Misalnya ajaran Astabrata yang diwejangkan oleh Prabu Ramawijaya ketika mewisuda Gunawan Wibisana menjadi raja Alengkadiraja menggantikan Rahwana kakandanya, setelah dikalahkan oleh Ramawijaya. Asta yang bermakna delapan dan brata yang bermakna lelaku atau darma bakti. Delapan perilaku atau sifat-sifat dan gejala alam raya yang harus diteladani oleh setiap pemimpin. Delapan  sifat  yang wajib diikuti dan dilaksanakan itu merupakan brata atau darma baktil. Sebagai darma bakti seorang raja terhadap kawula wadya. Ajaran ini sangat dipundi-pundi dan dipegang teguh serta dilaksanakan oleh Prabu Ramawijaya sebagai peninggalan  Prabu Harjuna Sasrabahu dari negeri Mahespati, sebagaimana diabadikan dalam kisah Ramayana.
     Cerita-cerita yang mengandung ajaran budi pekerti luhur itu sangat berkesan dan menjadi modal dasar bagi putra-putranya kelak ketika meleburkan diri ke samudra pergaulan luas. Tidak harus menjadi pemimpin atau raja. Sebab menjadi manusia biasa yang paling sederhana pun, budi pekerti luhur dan kepemimpinan itu sangat menolong menempatkan dirinya menjadi manusia mulia, Manusia yang dihormati baik oleh kawan maupun lawan.
     Tidak sebagaimana biasanya, pagi itu Dewi Kunti tampak kurang bergairah berbicara apalagi bercerita. Sejenak setelah beberapa saat terasa lengang, Dewi Kunti membuka percakapan: "Putraku Pembarep, Puntadewa. Sudah sebulan lebih adindamu si Panengah, Pamadi yang ketika itu pamit hendak naik ke pertapaan Eyangmu Maharsi Abiyasa di Wukiratawu, Saptaharga, tapi hingga hari ini belum kembali. Tidak seperti biasanya, perasaan ibu tidak enak. jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi. Bagaimana menurut pendapatmu ?"
     Bersembah Puntadewa kepada Ibundanya: "Sungguh benar apa yang Ibunda Ratu katakan. Ananda sendiri juga merasakan. Pasti ada sesuatu yang mengganggu perjalanan adinda Pamadi sehingga hari ini belum kembali ke Pagombakan. Beberapa hari lalu, ananda  telah meminta adinda Panenggak, si Bima untuk pergi ngrangu sampai ke Saptaharga tapi juga belum berhasil menemukan adinda Pamadi. Yayi Bima, silakan matur sendiri ke Ibu bagaimana kemarin adinda saya minta menyusul ke Saptaharga ?"  Tanya Puntadewa.                                   
      "Ya betul ibunda Ratu. Ananda Bima sudah sampai ke Wukiratawu. Sesampai di sana Si Kaki Abiyasa sedang kepati tapa brata. Saya tidak mau mengganggu. Tetapi menurut para cantrik, putramu si Pamadi didawuhi oleh Kaki Abiyasa untuk melawat ke negeri Mandura. Katanya, kehadirannya sangat dibutuhkan orang banyak di negeri itu. Oleh sebab itu saya menghadap kakanda Pembarep dan juga ibunda Ratu, apakah saya harus menyusul ke Mandura , atau kita lebih baik menunggu kedatangannya saja di sini."  Ujar Bima. 
     "Kalau begitu Puntadewa," sela Dewi Kunti. "Mengapa Bima tidak menyusul saja ke Mandura. adikmu si Panengah itu belum pernah pergi ke Mandura . Siapa tahu terjadi sesuatu di sana dan memerlukan bantuanmu."
     "Betul Bima, susullah Pamadi ke Mandura. Kalau-kalau ada sesuatu yang terjadi kamu bisa membantu menolongnya." Puntadewa menambahkan.
     "Selama ini," Bima menyahut. "Si Pamadi itu selalu bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Dia selalu pulang membawa keberhasilan yang melegakan banyak orang. Oleh sebab itu biar dia merampungkan urusannya sendiri. Nanti kalau sudah berhasil pasti pulang."
     "Apa kamu tidak kuatir dengan keadaan adikmu . Sendirian di negeri yang belum pernah ia datangi ?" Tanya sang ibu.
     "Keselamatannya si Pamadi tidak ditentukan adanya bantuan atau pertolongan dari sanak-saudaranya." Demikian Bima. "Bahkan kepandaiannya dan kesaktiaanya tidak akan mampu menyelamatkannya. Tetapi hanya ketulusan dan kesucian batin serta kehendak Yang Maha Kuasa yang akan menyelamatkan dan melindunginya. Oleh sebab itu dengan atau tanpa kedatangan saya untuk membantunya tidak banyak artinya. Kalau memang bersih hatinya, lurus tekadnya, selamatlah si Pamadi. Tetapi sebaliknya kalau cemar batinnya dan lethek budi pekertinya, ia akan hancur lebur tidak tertolong lagi."
     Suasana menjadi agak tegang. Dewi Kunti dan Puntadewa menyadari betapa Bima begitu kokoh pendiriannya. Dia tidak mudah dipengaruhi jalan pikirannya. Kalau sudah meyakini sesuatu hal yang dianggapnya benar, akan ia pertahankan habis-habisan. Demikian juga sebaliknya dia tidak akan pernah memberi tempat kepada sesuatu yang diyakininya salah. Bahkan ada peribahasa yang sangat dipegang teguh oleh Bima, ibarat bahu kanan kirinya kalau salah tak segan-segan akan ditebasnya sendiri.
     Dalam suasana yang demikian tegang, Dewi Kunti melihat dari kejauhan muncul seseorang yang datang menuju Pagombakan. Dari gerak langkah kakinya bisa dipastikan ia telah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Dan dari penampilannya ia bukan kawula Hastinapura. Tetapi semakin dekat samar-samar ada sesuatu yang mengingatkan Dewi Kunti kepada seseorang yang pernah ia kenal. Begitu tinggal beberapa langkah, baru ia sadari, Dia adalah adik kandungnya sendiri Pangeran Aryoprabu Hugrasena yang memang sudah belasan tahun tidak dijumpainya. Penyamarannya yang nyaris sempurna membuat Dewi Kunti sang kakak kandung hampir-hampir tidak mengenalinya.
     Setelah memperkenalkan anak-anaknya dan menanyakan keadaan Istana Mandura, Dewi Kunti menanyakan maksud kedatangannya yang terasa sangat nyolowadi. Maka Aryoprabu Hugrasena mengutarakan tujuannya datang ke Pagombakan: "Sesungguhnya Kakanda Ratu, kedatangan saya mengemban titah Paduka Kakanda Prabu Basudewa, untuk memohon bantuan Kakanda Ratu, sudilah kiranya mengijinkan putraku Bima untuk dipinjam menjadi jagonya Kerajaan Mandura. Ia akan diadu melawan jagonya Kadipaten Sengkapura Patih Suratrimantra. Adu jago besar-besaran ini demi menyelamatkan Kerajaan Mandura, karena kalau jagonya kalah,  Kakanda Prabu Basudewa sekeluarga dan wadya balanya harus keluar dari Mandura dan menyerahkan Kerajaan seisinya kepada Adipati Anom Warakangsa. Sementara menurut pengamatan kami, di Mandura saat ini belum ada prajurit maupun senapati yang mampu menandingi, apalagi mengalahkan Patih Suratrimantra."
     Setelah mendengar uraian Aryoprabu Hugrasena, maka tergerak hati Dewi Kunti untuk membantu memulihkan ketenteraman dan kesejahteraan negeri kelahirannya itu. Negeri yang telah membesarkannya, peninggalan para leluhur bangsa Yadawa. Maka berkata Dewi Kunti kepada putra sulungnya: "Puntadewa,  Pembarep. Ananda mendengar sendiri penuturan Pamanmu Adipati Aryoprabu Hugrasena. Adikmu Bima diminta untuk dipinjam jadi jagonya uwakmu Prabu Basudewa. Bagaimana Pendapatmu ?"
     Puntadewa bersembah: "Kalau menurut ibu itu hal yang baik, ananda mengikuti, kalau menurut ibu itu tidak baik ananda juga menolaknya."
     Dewi Kunti menanyakan kepada Bima: "Bima  putraku Panenggak. Uwakmu Prabu Basudewa minta tolong kamu mau dijadikan jagonya Kerajaan Mandura. Bagaimana pendapatmu ?"
     Bima yang dari tadi berdiam diri, akhirnya buka suara: " Dari kelakuannya saja, saya tidak suka. jangankan adu manusia, adu jangkrik saja saya anggap itu perbuatan yang tidak patut bagi layaknya seorang ksatria. Apa lagi seorang maharaja yang semua tingkah-lakunya akan menjadi suri teladan, dicontoh, dijadikan panutan oleh para kawula wadya. Kemuliaan macam apa yang diharapkan dari kelakuan mengadu manusia. Apalagi ini akan disertai taruhan besar-besaran, itu namanya judi. Perjudian itu tindakan yang dilarang oleh angger-angger agama apa saja. Jadi jangankan untuk diadu, mendengarnya saja saya tidak sudi."
      Mendengar jawaban si Panenggak, Puntadewa berkata: "Adinda Bima, Panenggak Pandawa. Dari ucapan adinda, saya kuatir adinda telah melupakan darmanya ksatriatama. Kita sudah terlanjur terlahir sebagai seorang ksatria Bima. Tidak bisa menghindar lagi. Sebagaimana yang sering diulang-ulang dalam ajaran kehidupan seorang ksatria, yang diabadikan dalam kekidungannya para brahmana. Tiga sifat yang harus menjadi watak dan sikap hidup seorang ksatria adalah; Nenuntun, Rumeksa dan Ngayomi. Jangan hanya karena kesulitan dan cobaan penderitaan hidup, kemudian adinda mengesampingkan dan meninggalkan tiga watak ksatria itu. "
     Bima kembali menjawab: "Kakanda Pembarep yang bijaksana. Tentu saja saya tidak akan keluar dari angger-anggernya seorang ksatria. justru dengan apa yang saya kemukakan tadi, saya sedang melaksanakan ketiga darmanya ksatria sekaligus. Pertama, nenuntun. Sebagai ksatria saya merasa wajib memberikan tuntunan bagaimana seharusnya bersikap. Seorang ksatria, apalagi yang sedang memegang kekuasaan sebagai raja, sikap pendiriannya harus jelas dan tegas. Kalau salah ya salah kalau benar ya benar. Sehingga seorang raja tidak perlu melakukan hal-hal yang salah atau sebaliknya menolak atau mengingkarisuatu kebenaran yang hanya didorong olah kepentingan sesaat. Kedua, rumeksa. Sebagai ksatria saya juga mempunyai tangung jawab rumeksa, menjaga keselamatan dan kewibawaan Uwa Prabu Basudewa. Jangan sampai terjerumus ke dalam tingkah-laku yang nista, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Sedang ketiga, Ngayomi. Saya wajib mengayomi semua kawula wadya Mandura. Agar mereka tidak terseret dalam kerusakan budi pekertinya, akibat perjudian yang sudah berkembang meraja-lela, karena mendapat restu dari para pemimpin kerajaan yang memang gemar berjudi. Sikap pengayoman saya tidak hanya untuk kawula wadya Mandura saja. Tetapi semua manusia bahkan binantang, tumbuhan dan seisi alam raya ini. Siapapun yang berdekatan dengan para Pandawa harus merasakan adanya pengayoman. Mereka harus terjamin keselamatan, keamanan, kehidupan dan kelestariannya. Demikian dasar pemikiran saya."
     Puntadewa mendengar dengan seksama apa yang diutarakan Bima. Kemudian ujarnya: "Jadi dengan dasar pemikiran itu, adinda menolak kalau saya minta untuk menolong paman Adipati Aryoprabu Hugrasena ?"  
    "Ya. Saya menolak." Bima menyahut tegas.
     Mendengar ketegasan Bima, Lega hati Puntadewa. Ia bangga dengan adik Panenggaknya.  Namun satu sisi ia mempertimbangka nasib Kerajaan Mandura. Lebih-lebih mengingat betapa besar  sayang dan hormatnya ibunda Dewi Kunti kepada sentana dan para keluarga Kerajaan serta para leluhurnya di Mandura. Maka diputuskannya untuk membujuk agar Bima bersedia membantu pamanda Aryoprabu Hugrasena, ujarnya: "Yayi Bima. Pagi ini, sebelum tengah hari adinda sudah dua kali menolak permintaanku. Kalau sekali lagi adinda lakukan hal itu, sebelum matahari di atas mestakaku, sudahlah. Tidak  ada lagi gunanya kesetiaan Pandawa ini. Tidak usah lagi ada Pembarep. Tua tanpa tuah hidupku. Lalu apa gunanya Puntadewa masih bertahan hidup, kalau adindanya sendiri sudah tidak mau menghormati perintahnya."
     Bima kaget mendengar ucapan  kakandanya si Pembarep. Ia tidak mengerti Puntadewa kurang berkenan atas ucapannya. Maka segera ia berusaha menjelaskan maksudnya: "Bukan begitu maksudku Kakanda Pembarep. Bima tidak mungkin menolak perintah kakanda. Sepeninggal Mendiang Ayahanda Prabu Pandu Dewanata, Pandawa kelima-limanya disaksikan Ibu Kunti Talibranta telah berprasetya, sepakat bahwa kakanda Pembarep menjadi sesulih, pengganti Ayahanda. Jadi semua kebijakan, keputusan dan perintah ada di tangan kakanda Pembarep. Jangan ragu-ragu, jangan segan-segan. Apapun yang kakanda pembarep perintahkan, para Pandawa wajib hukumnya untuk menjunjung tinggi dan mematuhinya. Jangankan sakit, mati pun pasti kami dengan suka-rela melaksanakannya. Oleh sebab itu kalau perkara jadi jago ke Mandura ini kakanda Pembarep memerintahkan jangan pergi, saya tidak akan pergi. Kalau Kakanda Pembarep memerintahkan berangkatlah, maka sekarang juga saya berangkat."  
     Puntadewa dengan tenang namun tegas memerintahkan : "Bima. Berangkatlah."
     "Saya berangkat." Sahut Bima singkat.
     Sambil mengangkat ibunda Dewi Kunti ke atas umbun-umbunnya, sebagaimana kebiasaan Bima ketika memberi penghomatan dan mohon pamit sang ibu ketika hendak pergi jauh atau melakukan hal-hal penting . Setelah menurunkan kembali ibunda Dewi Kunti ke tempat semula ia, segera melesat keluar ke tengah pelataran, halaman Pangombakan untuk mempersiapkan perjalanannya.