Jumat, 22 Oktober 2010

kangsa adu jago, lanjutan (2) cerita imajiner wayang jawa

Lanjutan (2)

Kangsa adu jago, cerita imajiner wayang jawa


Bima Bungkus
  
  Sebagai kebiasaan, sang Panenggak Pandawa, Bima bila hendak bepergian jauh, setelah pamit mohon restu dari ibundanya, selalu dia berhenti sejenak di halaman. Berdiri tegak memandang sang surya memohon kepada Hyang Maha Pencipta Alam Semesta perlindungan dan keselamatan untuk perjalanannya dan keselamatan keluarga yang ditinggalkannya. Kemudian cancut taliwanda mengencangkan kancing, ikatan  tali temali busananya. Tidak banyak busana yang dikenakan sang Bima. Sebagai ksatria putra maharaja Hastinapura, Bima terkenal sangat bersahaja dalam berpakaian. Selain dia sendiri tidak menyukai kemewahan, Bima hanya mau mengenakan pakaian yang ia sendiri memahami arti dan makna busana yang harus dia kenakan. Selain hal itu Bima yang terlahir bungkus, sudah mengenakan busana kadewatan yang dikenakan sejak menetas, keluar dari cangkang yang membungkusnya ketika lahir. Pakaian yang dikenakan langsung oleh Dewi Uma, Ratunya para bidadari itu melekat sesuai ukuran tubuhnya dan tidak pernah usang.
     Kelahiran Bima ke dunia ini sendiri merupakan peristiwa besar yang menggetarkan seluruh jagad raya, sehingga para dewa turun membantu dan memberikan penghormatan atas kelahiran jabang bayi raksasa yang bakal menjadi ksatriatama.
     Bima terlahir dengan keadaan terbungkus kulit ari-ari yang sangat kuat melindungi si jabang bayi. Tidak ada senjata yang mampu memecahkan untuk membantu mengeluarkan si jabang bayi. Atas petunjuk sang Kakek Maharesi Abiyasa, si jabang bayi bungkus tersebut agar di setrakan di tengah hutan Krenda Wahana, menunggu titi mangsa menetas atas kehendak Yang Maha Pencipta.
     Si bungkus yang menyerupai telur naga raksasa itu terus tumbuh makin membesar dan selalu bergerak menggelinding ke sana-kemari dengan mengeluarkan erangan mendesis, gemuruh menggetarkan seisi hutan. Getarannya sangat kuat sehingga daun-daun berguguran, buah-buahan rontok, pohon-pohon besar bertumbangan. Geger seisi hutan. Dewa-dewa dan bidadari kayangan turun ke bumi menyambut kelahiran manusia pilihan Hyang Maha Pencipta. Batara Narada, pujangganya para dewa memerintahkan putranya batara Gajahsena yang terkenal memiliki kekuatan luar biasa untuk membantu menetaskan si bungkus, agar jabang bayi segera lahir ke Marcapada.
     Dikisahkan ketika itu, Batara Gajahsena yang memiliki kekuatan sebesar lebih dari seribu kali kekuatan gajah liar, berusaha memecahkan si bungkus dengan gadingnya yang terkenal sangat tajam. Setajam tujuh kali lipat ketajaman pisau cukur. Namun apa yang terjadi. Ketajaman gading batara Gajahsena tidak mampu merobek atau membedah kulit si bungkus.
      Akhirnya para dewa dan bidadari semua terdiam bersamadi mohon petunjuk Hyang Maha Wenang. Dewanya para dewa itu memerintahkan Dewi Uma, ibu para bidadari permaisuri Batara Siwa Guru, untuk memandikan  dan memberikan Nama serta  busana kadewatan kepada si Jabangbayi, sehingga ketika keluar menetas dari bungkus, sang Jabangbayi sudah punya nama, bersih dan berpakaian lengkap. Batari Uma segera masuk ke dalam bungkus membawa air suci dari kayangan untuk memandikan si Jabangbayi dan mengenakan pakaian anugerah dari Sang Mahadewa dan memberikan nama Bima atau Bimasena atau Bratasena, atau Wrekudara atau Jodipati atau Gandawastratmaja.
      Pakaian itulah yang hingga kini dikenakan Sang Bima. Pakaian pemberian Dewata Agung yang tidak pernah usang dan selalu menyesuaikan ukuran tubuh sang Bima dari bayi hingga dewasa. Busana itu berupa kampuh poleng bang bintulu yang bermakna pakaian pembungkus. budi pekerti manusia adalah kampuh atau kain yang melindungi, menyelimuti hati nurani bercorak poleng, warna merah, kuning, hitam dan putih. Masing-masing warna merupakan lambang-lambang hawa napsu yang menyelimuti hati nurani dan akal budi manusia. Warna merah, melambangkan kemarahan dan keberanian. Kuning melambangkan keinginan, iri dengki dan keserakahan. Warna hitam melambangkan kegelapan, kebencian, dendam dan kematian. Warna putih melambangkan kesucian, kejujuran dan kesetiaan. Semua pembungkus yang menyelimuti hati nurani dan akal budi ini harus ditata, dikendalikan dan dikunci dengan kancing peporong kepala naga raja yang melambangkan semua kekuatan hawa napsu itu harus diikat dikendalikan dengan kekuatan yang benar-benar tangguh sekuat lilitan naga raja. Sedangkan kelat bahu berupa balibar manggis yang terbelah dengan seluruh kendaganya, melambangkan kesungguhan sang Bima menerapkan dan menegakkan kebenaran dan keadilan. Dengan cara yang sangat lugas merata kepada siapa saja baik kepada orang besar, manusia jelata, orang tua, muda, kaya dan miskin semua mendapatkan bagiannya sesuai haknya.
     Sumping kencana rekaan sekar pudak. melambangkan keharuman budi pekerti sang Bima yang seimbang kanan kiri atas bawah. Sekar pudak yang ujudnya kurang begitu indah tetapi keharumannya merata dari luar hingga ke dalam bahkan seluruh daun dan akarnya semua menebarkan aroma harum mewangi.
     Pupuk emas putih yang bertengger di tengah-tengah dahi pelarapannya  berujud rekaan jarotnya buah asam, melambangkan budi pekerti dan sikap hidup sang Bima. Meski ujud bentuk badannya tinggi besar dan kasar bagai raksasa, namun dalam hati sanubarinya berkembang pemikiran yang halus dan ngrawit bagaikan ngrawitnya serat jaorot buah asam,
     Dalam kisah, setelah Dewi Uma selesai memandikan dan memakaikan busananya, kembali Batara Gajahsena membedah si bungkus dengan gadingnya. Bersamaan dengan turunnya anugerah Dewata Agung terkoyaklah selaput kulit si bungkus. Karena terkejut bayi raksasa ini mencengkeram kedua bilah gading Batara Gajahsena. Karena kekuatan cengkeraman dan mendapatkan tendangan kaget dari sang Jabangbayi, maka terlemparlah batara Gajahsena ke angkasa. Sepasang gading ampuhnya tercerabut dan tertinggal dalam genggaman sang jabangbayi. Sepasang gading ampuh itu menjelma menjadi kuku Pancanaka yang kelak akan menjadi senjata andalan sang Bima.
    Syahdan Batara Gajahsena yang terlempar tinggi ke angkasa turun lagi ke bumi ingin mengambil kembali gadingnya. Namun atas nasihat Batara Narada disarankan agar sebaiknya Batara Gajahsena menyatu saja dengan sang jabangbayi. untuk sama-sama memiliki gading pusaka ampuhnya untuk digunakan menjaga dan menegakkan keadilan dan kebenaran di Mayapada bersama para ksatria. Batara Gajahsena setuju menyatu dengan seluruh kesaktiannya dalam kehidupan dunia sang Bima, sehingga Bima kini bertambah kekuatannya melebihi kekuatan seribu kali gajah hutan, karena penjelmaan Batara Gajahsena. 
     Selesai meneliti dan mengencangkan tali-temali busananya Bima segera memateg  ajian bandung Bandawasa, serta ajian Wungkal Bener. Kedua ajian ini memberi kekuatan kepada sang Bima untuk bisa melompat dan berlari kencang karena didorong bayu bajra angin topan dari belakang. Dan ketika berlari sang Bima tidak pernah berbelok, sehingga kalau melintasi sungai bengawan dilompati, samudra digebyur, gunung didaki dan lembah dilangkahi.
     Seketika mulai terasa bertiup angin semilir dari belakang, makin lama makin  kencang, pertanda mulai terbit kesaktian ajian Bandung Bandawasa. Serentak angin topan meniup bagai prahara menderu menerbangkan sang Bima hilang dari pandangan mata.

Rabu, 20 Oktober 2010

Kangsa adu jago, Pandawa di Pagombakan lanjutan kisah imajiner wayang jawa

Pagombakan (lanjutan)


     Salah satu upaya Mahapatih Sangkuni untuk menjauhkan pengaruh Mendiang Parabu Pandu Dewanata dari kawula wadya hastinapura adalah menempatkan Dewi Kunti dan para putranya, Pandawa di Pagombakan. Jauh dari kegiatan pemerintahan kerajaan dan pergaulan dengan para penguasa dan pemimpin negara. Juga menjauhkan Pandawa dari kawula wadya Hastinapura. Namun hasilnya sebaliknya, perlakuan terhadap peninggalan maharaja yang sangat dicintai rakyatnya ini justru makin meningkatkan rasa iba dan kasih sayang yang tumbuh subur di kalangan para sesepuh kerajaan dan para kawula wadya. Dan sebaliknya malah menanamkan rasa kurang percaya kepada setiap tindakan dan kebijakan yang dilaksanakan Mahapatih Sangkuni yang selalu mengatas-namakan perintah Maharaja Prabu Destarastra.
     Pagi itu, Dewi Kunti Talibranta sedang duduk di beranda usai menemani putranya Panenggak Pandawa, Bima yang rajin mencangkul memelihara tanaman pohon buah dan bunga-bungaan di taman halaman Pagombakan. Sambil mengamati sepasang angsa putih berenang di air kolam  yang bening menampakkan ikan-ikan berseliweran warna-warni.
     Datang menghadap, putra sulung Puntadewa si Pembarep menyusul kemudian si bungsu kembar Nakula dan Sadewa. Bima datang terakhir menyusul bergabung setelah mandi, membersihkan badan. 
    Semenjak kanak-kanak hingga remaja, apa lagi sepeninggal mendiang ayahandanya, pada kesempatan berkumpul demikian, biasanya mereka mendapatkan cerita-cerita dari ibunda Dewi Kunti tentang kisah-kisah keteladanan para pendahulu, leluhur para Pandawa. Mulai dari pertapaan Saptaharga, hingga kisah-kisah pada jamannya kerajaan Ayodya ketika Prabu Ramawijaya dan Adindanya Raden Laksmana dibantu Raja Sugriwa dengan bala tentara wanaranya menaklukkan Raja Raksasa Dasamuka dari Alengkadiraja.  Sungguh seorang ibu bijaksana yang menyayangi putra-putranya, Dewi Kunti yang sangat menguasai kisah-kisah para ksatria jaman dahulu itu, juga pandai mengutip ajaran-ajaran budi pekerti luhur yang dianut oleh para tokoh pendahulu dan leluhur raja-raja Hastinapura. Misalnya ajaran Astabrata yang diwejangkan oleh Prabu Ramawijaya ketika mewisuda Gunawan Wibisana menjadi raja Alengkadiraja menggantikan Rahwana kakandanya, setelah dikalahkan oleh Ramawijaya. Asta yang bermakna delapan dan brata yang bermakna lelaku atau darma bakti. Delapan perilaku atau sifat-sifat dan gejala alam raya yang harus diteladani oleh setiap pemimpin. Delapan  sifat  yang wajib diikuti dan dilaksanakan itu merupakan brata atau darma baktil. Sebagai darma bakti seorang raja terhadap kawula wadya. Ajaran ini sangat dipundi-pundi dan dipegang teguh serta dilaksanakan oleh Prabu Ramawijaya sebagai peninggalan  Prabu Harjuna Sasrabahu dari negeri Mahespati, sebagaimana diabadikan dalam kisah Ramayana.
     Cerita-cerita yang mengandung ajaran budi pekerti luhur itu sangat berkesan dan menjadi modal dasar bagi putra-putranya kelak ketika meleburkan diri ke samudra pergaulan luas. Tidak harus menjadi pemimpin atau raja. Sebab menjadi manusia biasa yang paling sederhana pun, budi pekerti luhur dan kepemimpinan itu sangat menolong menempatkan dirinya menjadi manusia mulia, Manusia yang dihormati baik oleh kawan maupun lawan.
     Tidak sebagaimana biasanya, pagi itu Dewi Kunti tampak kurang bergairah berbicara apalagi bercerita. Sejenak setelah beberapa saat terasa lengang, Dewi Kunti membuka percakapan: "Putraku Pembarep, Puntadewa. Sudah sebulan lebih adindamu si Panengah, Pamadi yang ketika itu pamit hendak naik ke pertapaan Eyangmu Maharsi Abiyasa di Wukiratawu, Saptaharga, tapi hingga hari ini belum kembali. Tidak seperti biasanya, perasaan ibu tidak enak. jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi. Bagaimana menurut pendapatmu ?"
     Bersembah Puntadewa kepada Ibundanya: "Sungguh benar apa yang Ibunda Ratu katakan. Ananda sendiri juga merasakan. Pasti ada sesuatu yang mengganggu perjalanan adinda Pamadi sehingga hari ini belum kembali ke Pagombakan. Beberapa hari lalu, ananda  telah meminta adinda Panenggak, si Bima untuk pergi ngrangu sampai ke Saptaharga tapi juga belum berhasil menemukan adinda Pamadi. Yayi Bima, silakan matur sendiri ke Ibu bagaimana kemarin adinda saya minta menyusul ke Saptaharga ?"  Tanya Puntadewa.                                   
      "Ya betul ibunda Ratu. Ananda Bima sudah sampai ke Wukiratawu. Sesampai di sana Si Kaki Abiyasa sedang kepati tapa brata. Saya tidak mau mengganggu. Tetapi menurut para cantrik, putramu si Pamadi didawuhi oleh Kaki Abiyasa untuk melawat ke negeri Mandura. Katanya, kehadirannya sangat dibutuhkan orang banyak di negeri itu. Oleh sebab itu saya menghadap kakanda Pembarep dan juga ibunda Ratu, apakah saya harus menyusul ke Mandura , atau kita lebih baik menunggu kedatangannya saja di sini."  Ujar Bima. 
     "Kalau begitu Puntadewa," sela Dewi Kunti. "Mengapa Bima tidak menyusul saja ke Mandura. adikmu si Panengah itu belum pernah pergi ke Mandura . Siapa tahu terjadi sesuatu di sana dan memerlukan bantuanmu."
     "Betul Bima, susullah Pamadi ke Mandura. Kalau-kalau ada sesuatu yang terjadi kamu bisa membantu menolongnya." Puntadewa menambahkan.
     "Selama ini," Bima menyahut. "Si Pamadi itu selalu bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Dia selalu pulang membawa keberhasilan yang melegakan banyak orang. Oleh sebab itu biar dia merampungkan urusannya sendiri. Nanti kalau sudah berhasil pasti pulang."
     "Apa kamu tidak kuatir dengan keadaan adikmu . Sendirian di negeri yang belum pernah ia datangi ?" Tanya sang ibu.
     "Keselamatannya si Pamadi tidak ditentukan adanya bantuan atau pertolongan dari sanak-saudaranya." Demikian Bima. "Bahkan kepandaiannya dan kesaktiaanya tidak akan mampu menyelamatkannya. Tetapi hanya ketulusan dan kesucian batin serta kehendak Yang Maha Kuasa yang akan menyelamatkan dan melindunginya. Oleh sebab itu dengan atau tanpa kedatangan saya untuk membantunya tidak banyak artinya. Kalau memang bersih hatinya, lurus tekadnya, selamatlah si Pamadi. Tetapi sebaliknya kalau cemar batinnya dan lethek budi pekertinya, ia akan hancur lebur tidak tertolong lagi."
     Suasana menjadi agak tegang. Dewi Kunti dan Puntadewa menyadari betapa Bima begitu kokoh pendiriannya. Dia tidak mudah dipengaruhi jalan pikirannya. Kalau sudah meyakini sesuatu hal yang dianggapnya benar, akan ia pertahankan habis-habisan. Demikian juga sebaliknya dia tidak akan pernah memberi tempat kepada sesuatu yang diyakininya salah. Bahkan ada peribahasa yang sangat dipegang teguh oleh Bima, ibarat bahu kanan kirinya kalau salah tak segan-segan akan ditebasnya sendiri.
     Dalam suasana yang demikian tegang, Dewi Kunti melihat dari kejauhan muncul seseorang yang datang menuju Pagombakan. Dari gerak langkah kakinya bisa dipastikan ia telah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Dan dari penampilannya ia bukan kawula Hastinapura. Tetapi semakin dekat samar-samar ada sesuatu yang mengingatkan Dewi Kunti kepada seseorang yang pernah ia kenal. Begitu tinggal beberapa langkah, baru ia sadari, Dia adalah adik kandungnya sendiri Pangeran Aryoprabu Hugrasena yang memang sudah belasan tahun tidak dijumpainya. Penyamarannya yang nyaris sempurna membuat Dewi Kunti sang kakak kandung hampir-hampir tidak mengenalinya.
     Setelah memperkenalkan anak-anaknya dan menanyakan keadaan Istana Mandura, Dewi Kunti menanyakan maksud kedatangannya yang terasa sangat nyolowadi. Maka Aryoprabu Hugrasena mengutarakan tujuannya datang ke Pagombakan: "Sesungguhnya Kakanda Ratu, kedatangan saya mengemban titah Paduka Kakanda Prabu Basudewa, untuk memohon bantuan Kakanda Ratu, sudilah kiranya mengijinkan putraku Bima untuk dipinjam menjadi jagonya Kerajaan Mandura. Ia akan diadu melawan jagonya Kadipaten Sengkapura Patih Suratrimantra. Adu jago besar-besaran ini demi menyelamatkan Kerajaan Mandura, karena kalau jagonya kalah,  Kakanda Prabu Basudewa sekeluarga dan wadya balanya harus keluar dari Mandura dan menyerahkan Kerajaan seisinya kepada Adipati Anom Warakangsa. Sementara menurut pengamatan kami, di Mandura saat ini belum ada prajurit maupun senapati yang mampu menandingi, apalagi mengalahkan Patih Suratrimantra."
     Setelah mendengar uraian Aryoprabu Hugrasena, maka tergerak hati Dewi Kunti untuk membantu memulihkan ketenteraman dan kesejahteraan negeri kelahirannya itu. Negeri yang telah membesarkannya, peninggalan para leluhur bangsa Yadawa. Maka berkata Dewi Kunti kepada putra sulungnya: "Puntadewa,  Pembarep. Ananda mendengar sendiri penuturan Pamanmu Adipati Aryoprabu Hugrasena. Adikmu Bima diminta untuk dipinjam jadi jagonya uwakmu Prabu Basudewa. Bagaimana Pendapatmu ?"
     Puntadewa bersembah: "Kalau menurut ibu itu hal yang baik, ananda mengikuti, kalau menurut ibu itu tidak baik ananda juga menolaknya."
     Dewi Kunti menanyakan kepada Bima: "Bima  putraku Panenggak. Uwakmu Prabu Basudewa minta tolong kamu mau dijadikan jagonya Kerajaan Mandura. Bagaimana pendapatmu ?"
     Bima yang dari tadi berdiam diri, akhirnya buka suara: " Dari kelakuannya saja, saya tidak suka. jangankan adu manusia, adu jangkrik saja saya anggap itu perbuatan yang tidak patut bagi layaknya seorang ksatria. Apa lagi seorang maharaja yang semua tingkah-lakunya akan menjadi suri teladan, dicontoh, dijadikan panutan oleh para kawula wadya. Kemuliaan macam apa yang diharapkan dari kelakuan mengadu manusia. Apalagi ini akan disertai taruhan besar-besaran, itu namanya judi. Perjudian itu tindakan yang dilarang oleh angger-angger agama apa saja. Jadi jangankan untuk diadu, mendengarnya saja saya tidak sudi."
      Mendengar jawaban si Panenggak, Puntadewa berkata: "Adinda Bima, Panenggak Pandawa. Dari ucapan adinda, saya kuatir adinda telah melupakan darmanya ksatriatama. Kita sudah terlanjur terlahir sebagai seorang ksatria Bima. Tidak bisa menghindar lagi. Sebagaimana yang sering diulang-ulang dalam ajaran kehidupan seorang ksatria, yang diabadikan dalam kekidungannya para brahmana. Tiga sifat yang harus menjadi watak dan sikap hidup seorang ksatria adalah; Nenuntun, Rumeksa dan Ngayomi. Jangan hanya karena kesulitan dan cobaan penderitaan hidup, kemudian adinda mengesampingkan dan meninggalkan tiga watak ksatria itu. "
     Bima kembali menjawab: "Kakanda Pembarep yang bijaksana. Tentu saja saya tidak akan keluar dari angger-anggernya seorang ksatria. justru dengan apa yang saya kemukakan tadi, saya sedang melaksanakan ketiga darmanya ksatria sekaligus. Pertama, nenuntun. Sebagai ksatria saya merasa wajib memberikan tuntunan bagaimana seharusnya bersikap. Seorang ksatria, apalagi yang sedang memegang kekuasaan sebagai raja, sikap pendiriannya harus jelas dan tegas. Kalau salah ya salah kalau benar ya benar. Sehingga seorang raja tidak perlu melakukan hal-hal yang salah atau sebaliknya menolak atau mengingkarisuatu kebenaran yang hanya didorong olah kepentingan sesaat. Kedua, rumeksa. Sebagai ksatria saya juga mempunyai tangung jawab rumeksa, menjaga keselamatan dan kewibawaan Uwa Prabu Basudewa. Jangan sampai terjerumus ke dalam tingkah-laku yang nista, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Sedang ketiga, Ngayomi. Saya wajib mengayomi semua kawula wadya Mandura. Agar mereka tidak terseret dalam kerusakan budi pekertinya, akibat perjudian yang sudah berkembang meraja-lela, karena mendapat restu dari para pemimpin kerajaan yang memang gemar berjudi. Sikap pengayoman saya tidak hanya untuk kawula wadya Mandura saja. Tetapi semua manusia bahkan binantang, tumbuhan dan seisi alam raya ini. Siapapun yang berdekatan dengan para Pandawa harus merasakan adanya pengayoman. Mereka harus terjamin keselamatan, keamanan, kehidupan dan kelestariannya. Demikian dasar pemikiran saya."
     Puntadewa mendengar dengan seksama apa yang diutarakan Bima. Kemudian ujarnya: "Jadi dengan dasar pemikiran itu, adinda menolak kalau saya minta untuk menolong paman Adipati Aryoprabu Hugrasena ?"  
    "Ya. Saya menolak." Bima menyahut tegas.
     Mendengar ketegasan Bima, Lega hati Puntadewa. Ia bangga dengan adik Panenggaknya.  Namun satu sisi ia mempertimbangka nasib Kerajaan Mandura. Lebih-lebih mengingat betapa besar  sayang dan hormatnya ibunda Dewi Kunti kepada sentana dan para keluarga Kerajaan serta para leluhurnya di Mandura. Maka diputuskannya untuk membujuk agar Bima bersedia membantu pamanda Aryoprabu Hugrasena, ujarnya: "Yayi Bima. Pagi ini, sebelum tengah hari adinda sudah dua kali menolak permintaanku. Kalau sekali lagi adinda lakukan hal itu, sebelum matahari di atas mestakaku, sudahlah. Tidak  ada lagi gunanya kesetiaan Pandawa ini. Tidak usah lagi ada Pembarep. Tua tanpa tuah hidupku. Lalu apa gunanya Puntadewa masih bertahan hidup, kalau adindanya sendiri sudah tidak mau menghormati perintahnya."
     Bima kaget mendengar ucapan  kakandanya si Pembarep. Ia tidak mengerti Puntadewa kurang berkenan atas ucapannya. Maka segera ia berusaha menjelaskan maksudnya: "Bukan begitu maksudku Kakanda Pembarep. Bima tidak mungkin menolak perintah kakanda. Sepeninggal Mendiang Ayahanda Prabu Pandu Dewanata, Pandawa kelima-limanya disaksikan Ibu Kunti Talibranta telah berprasetya, sepakat bahwa kakanda Pembarep menjadi sesulih, pengganti Ayahanda. Jadi semua kebijakan, keputusan dan perintah ada di tangan kakanda Pembarep. Jangan ragu-ragu, jangan segan-segan. Apapun yang kakanda pembarep perintahkan, para Pandawa wajib hukumnya untuk menjunjung tinggi dan mematuhinya. Jangankan sakit, mati pun pasti kami dengan suka-rela melaksanakannya. Oleh sebab itu kalau perkara jadi jago ke Mandura ini kakanda Pembarep memerintahkan jangan pergi, saya tidak akan pergi. Kalau Kakanda Pembarep memerintahkan berangkatlah, maka sekarang juga saya berangkat."  
     Puntadewa dengan tenang namun tegas memerintahkan : "Bima. Berangkatlah."
     "Saya berangkat." Sahut Bima singkat.
     Sambil mengangkat ibunda Dewi Kunti ke atas umbun-umbunnya, sebagaimana kebiasaan Bima ketika memberi penghomatan dan mohon pamit sang ibu ketika hendak pergi jauh atau melakukan hal-hal penting . Setelah menurunkan kembali ibunda Dewi Kunti ke tempat semula ia, segera melesat keluar ke tengah pelataran, halaman Pangombakan untuk mempersiapkan perjalanannya.
    
  

Senin, 11 Oktober 2010

Tegal Kuru Setra

Tegal Kuru Setra
Perang Suci Bharata Yudha

     Setelah berbagai upaya perdamaian tidak bisa diwujudkan. karena masing-masing pihak mempunyai alasan yang sangat mendasar dan diyakini kebenarannya. Maka sesuai janji Yang Maha Kuasa. Perang besar antar bangsa-bangsa dan negara=negara besar pun jadilah.
     Berbagai kepentingan yang melatar belakangi hasrat untuk saling menguasai saling mengancurjkan dan saling membunuh telah mendapat perstujuan dari Yang Maha Mengatur kehidupan.

Sarindri, Pandawa Sesinglon

Sarindri
Pandawa Sesinglon

     Setelah di"akali" oleh Duryudana Raja Kurawa dan Paman Penasihatnya  Patih Sangkuni maka dimulailah kehidupan Pandawa beserta istrinya Putri dari Negeri Pancala Dewi Drupadi yang amat sangat sengsara dalam pembuangan.

BALE SIGALA-GALA lanjutan kisah Para Pandawa

Bale Sigala-Gala

Berita kemenangan Bima putra  Kunthi Panenggak Pandawa mengalahkan Patih Suratrimantra di Blabar kawat alun-alun negeri Mandura tersiar ke seluruh penjuru hingga ke mancanegara

Jumat, 01 Oktober 2010

Kangsa Adu Jago, Cerita Imajiner Wayang Jawa.

Kangsa Adu Jago

Pengantar

Penulis yang terlahir sebagai Orang Jawa mempunyai kenangan masa kecil yang sangat lekat, seolah mimpi yang hilang-hilang timbul dalam ingatan tentang alkisah cerita wayang.

Kepada pembaca yang Orang Jawa tetapi tidak Terlalu Jawa atau Bukan Orang Jawa tetapi ingin tahu tentang Jawa,  selamat bergabung, bagaimana asyiknya Orang Jawa menikmati cerita wayang.

Unik memang. Sungguhpun cerita wayang itu sudah hafal karena sering dituturkan atau ditonton dalam berbagai versi, tetapi tetap saja masih diminati dan dinikmati . Bahkan disayangi sebagai harta pusaka warisan milik mereka bersama.

Perdebatan antara Pakem dan Carangan sudah berlangsung puluhan tahun, hingga sekarang masih sering terdengar. Namun sebagaimana layaknya Orang Jawa, akhirnya hal itu dibiarkan dan tumbuh subur. Bahkan makin memperkaya khasanah budaya jawa yang sudah terkenal sangat terbuka dan tolerant.

Sebagaimana Orang Jawa pulang nonton wayang, kemudian leyeh-leyeh minum teh nasgithel sambil membicarakan apa yang habis dtontonnya. Perbincangan kadang berlarut dan berkepanjangan mungkin berhari-hari. Lebih panjang dari nontonnya sendiri yang tidak penuh satu malam. Demikian halnya, penulis berharap setelah membaca tulisan ini setidaknya ada sesuatu yang layak untuk sekedar direnung, sukur diperbincangkan.

Mugi rahayu ingkang pinanggih - Semoga ketenteraman dan kesejahteraan bersama yang akan kita dapatkan.

Depok, 17 Juni 2010
Penulis.




Kangsa Adu Jago

1

Sitihinggil
Kedaton Mandura


....................... kelima Turangga Kedaton itu  semua hampir tenggelamketika mencoba menyeberangbengawan Jamuna hendak menuju Kedaton. Di dalam pasupenan itu Kedaton Mandura tampak sangat jauh, muram dan diselimuti kabut tebal. Impian ini senantiasa membayangi dan selalu mengganggu pikiran Ingsun...........



     Sri Baginda Maharaja Basudewa duduk sewaka di atas singgasana kencana beralaskan babut permadani bertebarkan sari-sari semerbakaroma mewangi keharuman getah gaharu, rasamala, cendana sari danminyak jebat kesturi. Dikibaskan kipas sayap bulu merak jantan raksasa yang mebarkan keharuman hingga memenuhi balairung.
     Sang Maharaja tampil di singgasana kerajaan mengenakan pakaian kebesaran Maharaja dengan mahkota bertatahkan ratna mutu manikam, berjamang emas murni bersusun tiga tingkat, dengankancing peniti emas rekaan kepala garuda bermata jamrut. Bersumpingkan emas murni bertatahkan berlian dengan corak kembang kanthil, anting-anting permata berbentuk setetes embun. Kalung ulur-ulur batu permata direka bagaikan seekor naga karangrang menyatu dengan dengan sabuk dan ikat pinggang. Bercelanakan cinde hijau lumut bersulamkan benang emas, dengan  kampuh barong jumputan bertatahkan perada emas murni.

     Kemunculan Sang Maharaja dari Kedaton ke Sitihinggil digerebeg para emban, cethi pawongan yang mengiringi kehadiran Maharaja lengkap dengan pusaka dan jimat kelengkapan upacara lambang kebesaran negara. Semua terawat dan sangat dijaga dan dikeramatkan karena menyangkut kewibawaan Negara dan pribadi Sang Maharaja. Para pembawa pusaka  kelengkapan upacara kerajaan ini adalah para emban cethi, yaitu perawan pilihan dari seluruh negeri. Selain berparas ayu, berpenampilan luwes juga memiliki kelebihan khusus. Misalnya kepandaian menari, sinden, atau kecakapan bela diri. Bahkan keterampilan menggunakan senjata dan peralatan perang serta menguasai ajian dan kesaktian.lainnya. Mereka terlatih dalam hal melindungi Maharaja dalam keadaan darurat. Sehingga disamping berparas elok dan berpenampilan cantik berperangai halus, juga selalu gesit dalam bertindak dan nampak senantiasa waspada.
     Banyak di antara mereka akhirnya diangkat menjadi Garwo Ampil atau di hadiahkan sebagai anugerah menjadi isteri para Adipati dan menjadi permaisuri Raja Mancanegara sebagai duta perdamaian.

     Bersimpuh di hadapan Maharaja dua Sentana Adipati Anom, Aryoprabu Hugrasena dan Aryoprabu Rukma. Keduanya adalah adik kandung baginda raja yang dipercaya memegang tampuk pemerintahan negara. Aryoprabu Hugrasena yang lebih tua,  berpengalaman dan mumpuni di bidang peperangan dan penguasaan medan, diberi tanggungjawab atas pelaksanaan pemerintahan, keamanan dan pembinaan pertahanan dan keamanan negeri. Sedangkan Aryoprabu Rukmayng lebih muda dan terkenal sebagai pribadi yang santun dan cakap dalam pergaulan baik ke dalam maupun ke luar negeri diberi tanggung jawab untuk memelihara hubungan dengan negara-negara sahabat , serta memelihara dan meningkatkan kesejahteraan para kawula. Kedua Adipati itu dibantu oleh dua Patih keperxcayaan yaitu Patih Yudawangsa yang melaksanakan pemerintahan sehari-hari di dalam lingkungan keraton Mandura dan Patih Saragupita sebagai pelaksana pemerintahan di luar istana. Kedua Patih ini sudah sangat berpengalaman karena memang sudah mengabdi semenjak Prabu Basudewa masih menjadi Putra Mahkota. 
      Dalam kisah, Penampilan Maharaja Basudewa hari ini agak lain dari hari biasanya, ada suasana sendu yang meliputi Sitihinggil. Agak beberapa saat hening. Tiada suara sedikitpun. Semua yang hadir siniwaka merasakan sedikit tegang dalam kesunyian, menunggu sabda Sang Maharaja. 
     Hanya sesekali terdengar suara dentingan palu dan tempaan godam dari para abdidalem kriya, sunghging-ukir, undagi, pande, gending, gemblak, kemasan yang sedang berkarya sambil bersenandung, kekidungan uro-uro yang sayup-sayup terbawa semilirnya pawana pagi hari menyelusup mengharu-biru kesunyian di itihinggil.
     Sadar telah beberapa saat terdiam. Sang Maharaja Prabu Basudewa tersenyum dan memberi isyarat kepada kedua adinda Adipati agar mendekat, karena ada hal-hal yang wigati yang akan disampaikan kepada kedua pembesar negara ini.
     Bagaikan gaung memecah kesunyian Sang Maharaja Prabu Basudewa bersabda: "Wahai adinda Aryoprabu Hugrasena, bagaimana perjalanan Adinda Aryoprabu dari Kadipaten sampai ke Sitihinggil, semoga tidak suatu apa. Dan bagaimanakeadaan keluarga serta para kawula di Kadipaten, semoga sehat sejahtera semuanya."

     Menjawab Aryoprabu Hugrasena: "Sungguh Baginda Maharaja, berkat doa restu Paduka Kakanda Prabu, perjalanan hamba dari Kadipaten hingga Sitihinggil tidak ada aral melintang. Begitupun keadaan keluarga di Kadipaten mendapat perlindungan Yang Maha Kuasa, sehat sejahtera. Demikian juga keadaan para punggawa, kawula dan para nayaka, mereka senantiasa dalam kedamaian dan semua melaksanakan kewajibannya dengan tekun, karena memang tidak ada satupun hambatan serta gangguan yang datang, baik dari antara mereka sendiri maupun dari pihak luar yang sengaja ingin mengganggu dan merongrong kewibawaan Negeri."

     Mahaprabu Basudewa menjawab: "Sokur, beribu kali sokur, semoga konjuk ke hadapan Hyang Widi Wasa, berkat karunia NYa yayi dipati bisa menggenggam kendali pemerintahan terutama dalam hal keamanan negara. Ingsun beserta seluruh kawula Mandura sangat berhutang budi kepada yayi Prabu.
    Dan andika yayi prabu Rukma, bagaimana wartanya andika Adipatiaryo dan keluarga beserta seluruh kawula di Kadipaten ?".
     Menjawab Aryoprabu Rukma: "Berkat doa restu Paduka Kakanda Prabu, hingga saat ini hamba sekeluarga beserta para kawula Kadipaten bahkan seluruh Negeri Mandura merasakan ayem tenteram kerta raharja. Kesuburan  tanah-air negeri ini, cukup melimpahkan hasil pertanian dan perniagaan. Demikian pula para abdi kriya dan pangreh praja, semua bekerja mengabdi dengan tekun. Mereka semua senantiasa mendoakan kesehatan dan kelanggengan tahta Paduka Kakanda Prabu."
     Setelah meneguk minuman kesukaannya, berupa pipisan kulit jambe merah dengan sari buah delima dicampur madu kumbang hitam dengan sekuntum kembang cengkih kering sebagai penyedap dan mempersilakan para manggala di hadapannya untuk menikmati minuman yang telah disediakan. Sang Maharaja melanjutkan sabdanya: "Adinda Aryoprabu, dari seluruh negeri ini hanya andika yang paling tahu mengenai lima ekor Kuda Kerajaan kelangenan Ingsun yang dulu Insun titipkan untuk dirawat di Widorokandang. Bagaimana perkembangannya ? Sudah lima belas tahun lebih, Ingsun belum sempat melihat sendiri dan mengetahui pertumbuhannya." 
     Terperanjat Aryoprabu Rukma mendengar pertanyaan Sang Maharaja Prabu Basudewa. Sembari berusaha sekuat tenaga untuk menutupi kegugupannya, Aryoprabu bersembah: "Aduh Kakanda Prabu, sesembahan kawula seluruh negeri. Terakhir hamba melihat sekitar dua pekan lalu. Sungguh merupakan kebagahagiaan tersendiri menyaksikan lima ekor Turangga Kedaton tumbuh sehat, sangat kuat, trengginas dan rata-rata mereka memiliki kecerdasa yang luar biasa, sehingga tumbuh melebihi turangga lain seusianya. Menurut hemat hamba, memang keputusan yang sangat tepat dan bijaksana kakanda Prabu memilih menitipkan kelima Pusaka Kerajaan  tersebut kepada abdi paduka Gamel Kondang Ki Demang Antagopa. Hamba menyakini Ki Demang memang benar-benar mengabdikan diri untuk merawat harta kerajaan titipan Paduka Kakanda Prabu. Bahkan menurut penilaian hamba, sewaktu-waktu aduka betrkenan menampilkan mereka pada suatu kesempatan apapun, mereka sudah siap dan sangat meyakinkan." Demikian sembah Adipatianom.
     "Kalau demikian halnya, sungguh lega, lapang rasanya hati ini." Sambung sang Maharaja.
     "Beberapa hari ini ada perasaan kurang enak dalam hati saya. Bahkan pernah muncul dalam pasupenan, kelima Turangga Kedaton itu semuanya hampir tenggelam ketuika mencoba menyeberang bengawan Jamuna hendak menuju Istana. Di dalam pasupenan itu Kedaton Mandura tampak sangat jauh, muram dan diselimuti kabut tebal. Impian ini senantiasa membayangi dan mengganggu pikiran Ingsun akhir-akhir ini. Ingsun merasa ada perlambang, bahwa akan ada sesuatu yang kurang baik yang akan menimpa Keraton Mandura. Oleh sebab itu, hal ini saya percayakan sepenuhnya kepada andika adinda Aryoprabu. Baik perwatan, pertumbuhan dan keamanannya. Mereka adalah titipan para leluhur pendiri Kerajaan Mandura. Mereka adalah masa depan dan lambang kejayaan Negara. Untuk itu Ingsun menyerahkan tanggung jawab beserta kewenangan sepenuhnya kepada Adinda Adipati untuk senantiasa mengawasinya. Dan andika, Adinda Adipati Anom Hugrasena, semua daya dan upaya apa saja yang dimiliki Negara ini Ingsun kuasakan kepada Andika demi mendukung keamanan dan keselamatan Adinda Aryoprabu Rukma dalam rangka mengemban tugas mulia ini. Ini taruhannya martabat, nama bik para leluhur yang telah dimakamkan di Pasarean Gandamadana. Singkatnya segera amankan Widorokandang. Silakan Adinda berdua atur titi mangsa yang tepat, Ingsun kepingin sekali segera meninjau langsung kesana." 
     Hampir bersamaan kedua Adipatianom itu bersembah: "Sendika Kakanda Prabu." 
     Untuk sementara, mulai agak mencair kesenduan suasana di Sitihinggil.
    Mendadak kegaduhan dan horeg terasa, bagaikan terjadi gempa di paseban. Menyusul heboh menggetarkan suasana. Hiruk-pikuk  terdengar dari arah alun-alun hinga paseban. Ternyata Pengeran Adipati  Prabuanom Warakangsa Putra Mahkota Kerajaan, berkenan menghadap Maharaja. Menguak kepadatan paseban para Punggawa. Dari alun-alun hingga pasewakan, bagaikan terbelah kehadiran para Mantri Bupati dan Pangeran di hadapan Maharaja. Serentak memberikan jalan dan penghormatan kepada Sang Putra Mahkota.
     Dengan langkah tegap dan gagah, Raja Muda Adipati Anom Warakangsa langsung menyeruak ke hadapan Maharaja. Setelah sungkem ke duli Maharaja Sang Pangeran Pati memberi sembah hormat kepada kedua Pamanda Pangeran Aryo Hugrasena dan Aryoprabu Rukma.
     Sejenak hening, ketika Pengeran Pati bersimpuh sembari mematut-matut busananya d hadapan Maharaja. Perhatian semua yang hadir terpusat kepada penampilan Pangeran Pati. Namun tidak ada sepasang mata pun dari yang hadir, berani menatap langsung ke wajah Sang Pangeran. Semua yang hadir diliputi perasaan sangat segan terhapan Sang Putra Mahkota. Selain penampilannya yang masih sangat muda usia, tinggi-besar gagah perkasa, Pangeran Pati ini memiliki kesaktian yang luar biasa. Sementara kepandaian dan kecerdikannya meraih puncak kekuasaan dan mengambil hati Sang Maharaja tidak ada yang berani menandingi, meski kedua Pangeran Aryo pamandanya sekalipun. Sementara Sang Maharaja terkesan sangat bangga kepada Putra Mahkota calon penggantinya ini. Sang Maharaja senantiasa mengikuti kemauan Sang Putra Mahkota. Menurut pawarta yang beredar di sekitar Kedaton, hal ini disebabkan oleh karena begitu sayangnya Sang Maharaja kepada putra tunggalnya ini. Konon dikarenakan semenjak jabang bayi hingga saat ini, Sang Maha Putra tidak pernah mengenal dan merasakan belaian kasih-sayang seorang ibu. Ibunda Dewi Maherah, Garwa Ampil kesayangan  Sang Maharaja berpulang ketika melahirkannya.
     Dikisahkan sang jabang bayi merah Warakangsa itu hanya diasuh oleh pamannya Patih Suratrimantra, Panglima Perang sakti mandraguna yang telah berpengalaman menaklukkan beberapa negara sekitar kerajaan Mandura.
     Makin beranjak dewasa, semakin nampak bakat kepemimpinan Pangeran Adipati Anom Warakangsa. Kepandaiannya mempengaruhi lingkungan sekitar dan menumpas lawan yang menghalangi kehendaknya semakin menonjol. Ia sangat berpengaruh di kalangan pengambil keputusan. Pandai membakar semangat para wadya bala prajurit dan lihai mereka-yasa dan memanfaatkan keadaan.
     Satu hal lagi keunggulan Pangeran Adipati ini, sangat cerdik menggali dana dari berbagai sumber, baik dari pajak, cukai dan pungutan dari berbagai kegiatan. Mulai dari pertunjukan, permainan, balapan kuda, adu ketangkasan, bela diri dan yang terakhir kegemarannya mengadu kesaktian yang diikuti oleh para prajurit, punggawa bahkan sampai para manggala praja. Memang sejak kanak-kanak hingga tumbuh remaja kegemarannya yang paling tidak bisa dicegah adalah kesukaannya mengadu ayam jago. Hal ini sedikit-banyak telah lama mengganggu pikiran Sang Maharaja, tetapi gaya kepemimpinan Sang Putra Mahkota yang pandai merangkul ke kalangan anak muda ini menjadi lambang pemimpin yang diidamkan yang muda, cakap, berani, terbuka dan sangat gemar mengembangkan dan memperkuat persaudaraan dan kesetia-kawanan antar prajurit. Hal ini diperkuat antara lain karena menggunungnya dana yang dikelola Kadipaten Sengkapura yang berasal dari berbagai pengembangan pajak dan pungutan.
     Sang Maharaja agak gamang. Di satu sisi sangat kasatmata pembangunan di berbagai bidang sarana dan pendukung peningkatan kesejahteraan kawula wadya maju pesat. Pamerintahan sangat kuat dan begitu disegani oleh negeri sekitar. Kemajuan pembangunan perlengkapan dan peralatan perang bagi wadya bala prajurit sangat mencengangkan. Negeri Mandura menjadi negeri paling kuat dan paling besar jumlah pasukan wadya bala prajuritnya. Rata-rata setiap prajurit memiliki ketrampilan berperang dan aji kesaktian yang tinggi. Dan yang paling membanggakan adalah darma bakti, kesetiaan dan pengabdian serta kepatuhan mereka terhadap pimpinan negara sudah tidak perlu diragukan lagi.
     Namun di sisi lain terasa ada yang makin samar-samar meredup, dan menghilang dari kehidupan budaya Negeri Mandura. Antara lain makin memudarnya kehalusan sikap, sopan-santun dan budi-pekerti yang dahulu sangat diagungkan dan dibanggakan. Makin lenyapnya  karya-karya sastra dan kesenian yang indah dan adi luhung. Anak-anak remaja dan para pemuda lebih dekat kepada budaya persaingan, perebutan kesempatan, kehebatan penampilan keberanian, kekerasan dan kesaktian. Semakin terasa memudarnya peri kehiduoan yang aman tenteram dan terlindung. Sesekali terasa tegang dan mencekam karena pengaruh ketatnya pelatihan keberanian, kewiraan, kanuragan dan kesaktian.
     Sebagaimana biasa, setiap kehadirannya di pasewakan Sang Maha Putra Adipati Anom Warakangsa ini selalu ada saja prakarsa baru yang mengagetkan, yang membuat para Manggala dan Nayaka Praja bahkan Sang Maharaja sendiri terkesiap. Dan dengan kepercayaan diri serta kepandaiannya mengemukakan gagasannya yang luar biasa, maka selalu saja Sang Maharaja beserta para Parampara dan Penasihatnya, akhirnya mengikuti prakarsa Sang Adipati Anom.
     Saat ini Sang Maharaja sedang menduga-duga gagasan aneh apa lagi yang akan diajukan Pangeran Pati ini. Maka Sang Maharaja dengan tenang membuka percakapan: " Ananda Adipati Anom, angin baik mana lagi yang membawa Anak Prabu sampai ke Sitihinggil ini. Bagaimana keadaan Kadipaten dan ada kemajuan apa lagi yang akan Ananda sampaikan kepada Ayahandamu ini. Ayahanda dan kedua Pamanmu Adipati sudah tidak sabar ingin mendengar langsung dari Kakiprabu Anom."
     Memerah wajah Adipati Anom Warakangsa. Sembari tersenyum lebar, melirik ke arah kedua pamanda Adipati. Serentak kedua Adipati Aryo Hugrasena dan Aryoprabu Rukma mengangguk mempersilakan. Kemudian kepada Sang Maharaa Adipati Anom menatap tajam sambil bersembah: " Ampun Gusti Baginda Ayahanda Prabu, Gegunungannya bangsa Mandura, Raja diraja penumpas musuh tanpa peperangan dan penakluk lawan tanpa memusnahkannya. Kiranya Paduka Ayahanda menerima sembah sujud ananda yang hina ini, serta mohon kiranya sudi mengampuni segala dosa-dosa dan sikap hamba yang kurang berkenan. Ananda menghadap ke Sitihinggil tanpa Baginda  Maharaja Ayahanda panggil.  Apabila hal ini Ayahanda kurang berkenan Ananda mohon diampuni."
     Terdiam sejenak Adipati Anom Warakangsa, sambil menunduk menghela napas dalam-dalam. Kesempatan ini diambil oleh Sang Maharaja untuk menyela: "Teruskan aturmu Ananda Putra Mahkota, kalau pun ada kekurangan dan kelebihannya, Ingsun dan seluruh negeri ini masih sangat menghargai jasa-jasa dan darma bakti Ananda terhadap Negeri Mandura seisinya. Lanjutkan Ananda, Ingasun dan kedua Pamanda Adipati akan memperhatikan."
     Kembali bersembah Adipati Anom Warakangsa: "Sungguh kebijaksanaan Ayahanda seperti inilah yang membuat seluruh negeri ini senantiasa melantunkan kidung senja, memohon kepada Yang maha Kuasa untuk selalu melindungi dan melanggengkan tahta kerajaan Ayahanda Prabu. Wahai Ayahanda, maksud Ananda Adipati menghadap Ayahanda, sesungguhnya mengemban hasrat dan menggendong permohonan para wadya bala prajurit muda yang selama ini terpendam dalam hati mereka. Siang-malam, para prajurit muda itu selama ini membaktikan hidupnya demi kejayaan Negeri Mandura, oleh sebab itu, ananda atas nama mereka memohon kemurahan Baginda Ayahanda Prabu.  Besok pada hari peringatan kelahiran Ananda pekan depan, yaitu pada malam Tumpak Manis bertepatan dengan tanggap warsa jumenengan hari wisuda Ananda menjadi Pangeran Adipati anom sebagai Putra Mahkota, Ananda Mohon sudilah kiranya Ayahanda Prabu berkenan mengijinkan Ananda mengadakan perayaan pesta untuk memberikan hiburan, khususnya kepada para wadya bala prajurit muda dan juga kepada para kawula muda Negeri Mandura keseluruhannya.
     Pesta rakyat besar-besaran ini akan hamba selenggarakan tujuh hari tujuh malam. Menampilkan semua hiburan dan kesenian rakyat yang dimiliki bangsa Mandura dari seluruh negeri.  Yang menjadi inti pertunjukan hiburan adalah adu balap kuda dan adu kesaktian prajurit. Ananda Adipati Anom bermaksud mempertandingkan kuda-kuda perang pilihan dari Kadipaten Sengkapura dan kiranya Ayahanda berkenan menampilkan kuda-kuda perang pilihan dari Kerajaan Mandura untuk diadu di arena balap kuda mengelilingi alun-alun Negeri Mandura. Kemudian sebagai puncak acara hamba akan menampilkan jago prajurit pilihan dari Kadipaten dan hendaknya Ayahanda juga berkenan memilih prajurit terbaik dari Kerajaan Mandura untuk bertanding melawan jago Kadipaten. Demikian Kanjeng Dewaji, harapan hamba kesempatan ini akan mengangkat kebesaran nama Negeri Mandura dan meningkatkan banyaknya pengunjung pariwisata dari manca negara yang akan datang dan berbelanja di negeri ini, yang pada gilirannya tentu akan meningkatkan kegiatan perniagaan dan memajukan kehidupan para kawula alit. Suatu kebahagiaan dan kehormatan tersendiri seandainya Ayahanda Prabu berkenan hadir dan sekaligus membuka acara dimulainya pesta rakyat nanti. Ananda membayangkan mendiang Ibunda Dewi Maherah akan turut tersenyum bahagia di Alam Baka, menyaksikan Putranya bersanding dengan Ayahandanya di Blabar kawat membuka pesta rakyat besar-besaran dan dielu-elukan para kawula dasih. Demikian Ayahanda Prabu, seadainya ada perkataan Ananda yang kurang berkenan mohon kiranya Paduka sudi mengampuninya."
       Sekejap terhenyak Sang Maharaja Basudewa, namun segera dikuasainya sejenak keterpanaannya. Dalam hati sudah bisa menebak kemana arah keinginan Putra Mahkota ini. Kewibawaan dan Keagungannya sebagai Maharaja tidak menghendaki kegoncangan jiwanya nampak dalam sikap dan perangainya. Maharaja harus nampak anggun dalam keadaan sesulit apapun. Sambil mengembangkan senyumnya, Maharaja menjawab pelan: "Maha Putra, pemegang pemegang masa depan negeri Mandura. Ananda tahu, Ayahanda tidak akan pernah mampu menolak permintaan putra satu-satunya ini. Dan Ayahanda tahu, semua yang Ananda kemukakan pasti sudah Ananda pertimabngkan masak-masak dan semuanya itu semata-mata demi kejayaan dan kemakmuran Negeri Mandura. Ringkasnya apa yang Ananda kehendaki, Ayahanda mendukungnya. Segala yang menyangkut biaya, sarana-prasarana Kerajaan yang Ananda butuhkan untuk keperluan ini, Ananda bicarakan dengan Pamanda Adipati Aryo Prabu Rukma, dan menyangkut bagaimana dan siapa yang akan ditampilkan dalam adu kekuatan prajurit, biar Pamanda Aryoprabu Hugrasena yang mengaturnya. Yayi Adipati berdua, Andika Ingsun serahi tanggung jawab untuk untuk mendukung pelaksanaan perayaan besar seperti apa maunya Ananda Adipati Anom. Ingsun merestui, dengan harapan supaya Andika bertiga bisa menjaga jangan sampai keinginanAnanda Adipti Anom yang mulia ini dinodai oleh hal-hal yang tidak perlu terjadi. Apalagi gelanggang adu kekuatan prajurit. Ingsun wanti-wanti jangan sampai ada yang celaka. Kecilnya mengakibatkan cacad yang menimpa para jago, gedenya membuat rajapati. jangan sekali-kali terjadi."
     Tersindir oleh sabda Sri Baginda Maharaja, Adipati Anom Warakangsa bersembah: "Kemurahan hati Baginda Ayahanda Prabu akan dikenang seluruh kawula wadya Mandura. Kami pundi titah Paduka untuk menjaga pelaksanaanya demi menjaga kewibawaan Ayahanda Prabu."
     Terdiam sejenak Adipati Anom.  Kemudian dengan gayanya yang kembali menjelma menjadi Putra Mahkota yang dimanja kemuliaan. Sambil sedikit beringsut mendekat ke hadapan Maharaja, Warakangsa bersembah: "Satu lagi Ayahanda." Sengaja Warakangsa menghentikan ucapannya sambil menunggu tanggapan Maharaja. Dengan kesabaran yang hampir lepas kendali namun tetap tenang, Maharaja masuk jebakan Adipati Anom.: "Silakan Ananda Prabu Anom, apa lagi yang masih ingin Ananda sampaikan.  Jangan sungkan-sungkan. Negara dan seisinya ini, milik Ananda Prabu Anom." Maharaja mempersilakan Pangeran Adipati Anom.
    Mendapat kesempatan emas Pangeran Prabu Anom Warakangsa dengan semangatnya menguraikan maksudnya: "Begini Ayahanda Prabu. Sebelumnya mohon ampun beribu ampun. Menjelang peringatan hari Jumenengan nanti, kalau tidak salah usia hamba sudah genap dua puluh lima tahun. Sebagai Pangeran Prabu Anom, Ananda sering disindir oleh sesama Adipati baik di telatah Mandura maupun di Manca Nagari. Bahwa sampai saat ini Ananda Adipati Anom masih belum punya calon pendamping, yang bakal menjadi Prameswari.. Yang nantinya akan mendampingi Ananda Adipati kelak, ketika penobatan wisuda naik tahta menggantikan Ayahanda Prabu. Sekali lagi mohon ampun Ayahanda Prabu."
     Hampir tersedak Prabu Basudewa, terbahak menjawab permohonan Sang Putra mahkota: "Oo, lha dalah. Akhirnya terbuka juga isi hati Ananda Prabu Anom yang selama ini terpendam. Sungguh bahagia sekali Ayahanda mendengarnya. Sudah barang tentu Pamanda Adipati berdua juga sudah sangat lama menanti-nanti berita ini.Yayi Adipati Hugrasena dan Yayi Prabu Rukma, puji sokur ke haribaan Yang Maha Wisesa, Ananda Prabu Anom sudah terbuka hatinya untuk mencari calon Prameswari yang mendampingi ketika naik tahta nanti. Ya, ya, ya. Lalu apakah Ayahanda sudah boleh mengetahui siapa gerangan, putri raja dari negeri mana, Putri Bidadari yang sungguh sangat beruntung berhasil menambat hati Putra Mahkota kerajaan Mandura ini." Nampak kegembiraan yang meluap-luap dalam sabdanya. sang Maharaja ingin sekali mengetahui siapa gerangan si calon Menantu Prameswari ini.
     Sengaja ingin menggoda hati Maharaja, Adipati Anom bersembah: "Mohon seribu ampun Gusti Ayahanda Mahaprabu. Hendaklah Paduka sedikit bersabar. Nanti pada  waktunya, setelah gawe besar pesta rakyat ini paripurna, hamba akan hadapkan ia ke depan duli Ayahanda Maharaja, sekalian mohon restu Paduka. Saat ini yang menjadi perhatian anda hanyalah bagaimana penyelenggaraan pesta rakyat nanti berlangsung dengan baik terlebih dahulu, demi memberikan hiburan kepada seluruh kawula wadya.
     Maharaja sedikit penasaran, ingin mendesak untuk mendapatkan penjelasan, sabdanya: "Sungguh suatu sikap yang sangat terpuji dan bijaksana. Namun Ayahanda dan tentunya juga kedua Pamanda Adipati ingin sedikit kejelasan. utri manakah gerangan yang telah mendapatkan anugerah dari Yang Maha Widiwasa berhasil memikat hati Ananda Ananda Adipati Anom Putra Mahkota Kerajaan Mandura ini?"
     Didesak demikian, Pangran Adipati Anom Warakangsa sengaja ingin mencoba menjajagi ketangguhan hati Maharaja. Maka sembahnya: "Mohon Paduka tidak kecewa Ayahanda Prabu. Sesungguhnya calon Permaisuri yang Ananda dambakan ini bukanlah seorang putri raja atau keluarga bangsawan yang dihormati, melainkan seorang perawan sederhana dari pedesaan. Ia adalah anak perempuan dari seorang perawat kuda atau Abdidalem Juru Gamel, di Padukuhan Widorokandang. Ia anak perempuan Ki Demang Antagopa. 
     Bagaikan disambar petir di siang hari cerah. Sakan berhenti berdetak jantung Sang Maharaja, bergetar tangannya ketika mengambil unjukan untuk sekedar menenangkan gejolak di dadanya. sikap ini tidak luput dari pengawasan Sang Adipati Anom Warakangsa.
     Tidak ada keraguan lagi bahwa apa yang diketahuinya  tentang hubungan antara Kademangan Widorokandang dengan Kedaton Mandura semakin jelas. Segera Adipati Anom Warakangsa  bersembah: " Ini juga baru angan-angan hamba pribadi Ayahanda Prabu, Namun demikian nampaknya para kerabat Kadipaten dan seluruh wadya bala Sengkapura sangat mendukung keinginan hamba. Sekarang tinggal kami menunggu restu dari Ayahanda Maharaja.."
     Melihat Maharaja tercenung di Singgasana,  Adipati Anom kembali bersembah: "Mohon beribu ampun Ayahanda Prabu. Apabila hal ini membuat Ayahanda kurang berkenan. Hal ini sebaiknya Ayahanda melupakannya saja dahulu. Pada saatnya nanti setelah paripurna gawe besar pesta rakyat ini, apabila Ayahanda berkenan kiranya Ananda Adipati akan unjuk atur lagi. Dan Apabila Ayahanda mengetahui maksud dan latar belakang mengapa Ananda Adipati Anom menjatuhkan pilihan kepada perempuan sederhana dari pedusunan tersebut, niscaya Ayahanda akan sangat mendukung dan merestuinya."
     Setelah sejenak terdiam, Adipati Anom sembari menatap ke arah kedua Pamanda Adipati Aryo segera bersiap mohon pamit: "Kiranya Ananda sudah cukup lama mengganggu pasewakan ini. Ananda Mohon ijin segera pamit mundur dari pasewakan dan menunggu titah Ayahanda selanjutnya melalui Pamanda Aryo Prabu berdua. Sebelumnya perlu Ananda ingatkan, terutama kepada Paman Aryo Prabu Hugrasena. Jago yang Paman Aryo tampilkan hendaknya yang benar-benar jago pilihan, jangan sampai mengecewakan. Karena botohnya juga besar, antara Kadipaten melawan Kerajaan. Dari Kadipaten kalau perlu kami akan menampilkan jago pilihan kami yaitu Paman Patih Suratrimantra sendiri."
     Sambil tetap berusaha menahan gejolak hati dan berusaha tetap bersikap wajar Sang Maharaja mengangguk bersabda: "Ya, ya Ananda Prabu Anom, kiranya cukup jelas apa yang Ananda maksudkan dan bagaimana sikap dan dukungan Ayahanda serta Pamanda berdua. Secepatnya setelah bubaran pasewakan ini, segera Ingsun bakal paring dawuh kepada kedua Pamanda Aryo Prabu untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Mengenai keinginan Ananda Prabu Anom untuk segera melaksanakan jatukrama, sungguh benar dan sangat bijaksana keinginan Ananda Prabu Anom untuk membicarakannya kembali seusai pesta rakyat ini. Doa restu dan salam sejahtera dari Kerajaan untuk seluruh kawula wadya Kadipaten Sengkapura Semoga sekembali Ananda Prabu Anom dari Sitihinggil sampai Kadipaten selamat, tidak ada suatu apa."
     Sembari bersiap meninggalkan paseban, Pangeran Adipati Anom bersembah: Mohon ijin Ayahanda. Doa restu Ayahanda Prabu beserta Pamanda Aryo berdua sebagai pegangan dan bekal perjalanan Ananda pulang kembali ke Kadipaten."
     Turun dari Sitihinggil, meninggalkan paseban, Pangeran Adipati Anom Warakangsa segera disambut di alun-alun oleh para hulubalang dan pengawalnya.
     Sepeninggal Putra Mahkota, Maharaja memberi isyarat agar kedua Adipati Aryoprabu Hugrasena dan Aryoprabu Rukma mendekat. Sabdanya: "Cukup jelas bagaikan matahari cerah di langit siang hari tanpa awan tanpa kabut. Tidak ada keraguan sedikitpun, Adipati Warakangsa sudah mulai menyentuh lambang-lambang kekuasaan dan Kehormatan Negara. Adinda berdua, harini juga jangan kalah cepat dengan si Warakangsa. Andika  Adinda Aryoprabu Hugrasena, segera temui Kakandamu Yayi Ratu Kunti Talibranta di Astinapura. Sepeninggal Suaminya Mendiang Yayi Prabu Pandudewanata Yayi Ratu Kunti ini konon tinggal di Pagombakan, bagian belakang istana kerajaan Astinapura.
     Menghadaplah kepadanya. Utarakan semua permasalahan dan keruwetan yang melanda negeri ini. Mintalah anaknya si Panenggak Pandawa, Aryo Bima untuk dipinjam jadi jagonya Kerajaan Mandura melawan jaginya Kadipaten Sengkapura si Suratrimantra. Hanya Bima seorang di jagad raya ini yang bisa membungkam si Suratrimantra dan segera menyelesaikan masalah Negeri ini.
     Sementara Adinda Aryoprabu Rukma, bagaimana caranya agar hari ini juga bisa sampai ke Kademangan Widorokandang. Sampaikan pesn Kerajaan kepada Ki Demang Antagopa agar lebih wapada. Adipati Warakangsa sudah mengincar Widorokandang.
     Perjalanan Andika berdua adalah perjalanan sandi. Tidak ada yang mengetahui perkara ini kecuali kita bertiga. Andika ingsun ijinkan membawa pasukan telik sandi terbaik di Kerajaan Mandura sebanyak yang Andika butuhkan, untuk menyamar dan melindungi perjalanan Andika. Masalah ini menyangkut keselamatan dan masa depan Kerajaan. Ingsun akan langsung menuju Sanggar Pamujan untuk memohon pwetunjukdan perlindungan dari Hyang Maha Widi Wasa. Semoga apa yang kita laksanakan berkenan dan sesuai kehendak Nya . Bubarkan pasewakan, Ingsun kondur Kedaton."
    Tanpa sepatah kata, kedua Adupati Aryo bersembah mengiringi perjalanan Maharaja menuju kedaton digerebeg para emban cethi dan jakalara, mengiringi sekeliling maharaja sambil mengampil perlengkapan upacara kebesaran Kerajaan.
     Iring-iringan perjalanan Maharaja menuju Keputren bagaikan perjalanan ratu lebah yang dikerubuti dan dilindungi oleh para pengawalnya. Jangankan manusia biasa, nyamukpun seakan tidak akan mampu mendekati apalagi menyentuh Maharaja, karena begitu ketatnya para pengiring. Ada empat puluh orang emban cethi pilihan di sekeliling Maharaja. Mereka senantiasa siap sedia dengan sepenuh kerelaan mengabdi untuk Maharaja. Sekilas nampak putri-putri cantik ini bagaikan para penghibur yang gandes-luwes merak ati, yang senantiasa membuat siapapun yang memandangnya menjadi terpesona karena kecantikan dan keluwesannya. Namun di balik itu semua, sesungguhnya mereka mengemban tugas berat melindungi Maharaja dari segala bentuk gangguan. Baik gangguan keamanan secara kasar maupun cara-cara halus. Tak heran mereka rata-rata berpenampilan gesit, tangkas dan memiliki indera keenam dan pandangan mata setajam burung elang. Mereka terpilih dan terlatih untuk menggunakan berbagai perlatan perang, senjata tajam, pedang, tameng, tombak lembing, busur dan panah. Lebih dari itu mereka juga terampil melakukan bela diri dengan tangan kosong. Bahkan masing-masing memiliki kesaktian dan ajian  seperti: panggendam, aji gineng, panglimunan, pengasihan dan lain-lain. Mereka siap sedia mempertaruhkan hidupnya demi keselamatan Maharaja.
   Tiba di depan gapura pintu gerbang Kedaton, Maharaja terhenti sejenak mengamati keindahan gapura, sambil menunggu tengara dibukanya pintu gerbang gapura dan parekan penjemput yang mempersilakan masuk ke Kaputren.
     Tak bosan-bosan Maharaja mengagumi keindahan dan kemegahan bangunan gapura yang telah berusia bertahun-tahun lebih tua dari pada usia Sang maharaja sendiri. maklum gpura ini dibangun oleh leluhurnya, Eyang Prabu Kuntib Maharaja pertam pendiri karajaan dan Dinasti Mandura. Melihat usianya yang telah tiga generasi sering Maharaja memperhatikan betapa kokohnya bangunan gapura peninggalan kejayaan masa lalu ini.
     Tinggi gapura ini menjulang mengalahkan semua bangunan yang ada di sekitar Istana Kerajaan. Tiang utama dibuat dari batu granit sebesar pelukan lima orang dewasa. Alas lantai ubin batu pualam berwarna merah bata, atap sirap kayu besi, bubungan lempengan baja putih diukir membentuk sepasang naga yang bergelut berebut mangsa buah dan kembang kehidupan. Di puncak gapura ditanamkan mutiara alam sebesar buah kepuh jenggi, dilingkari manik-manik mutu manikam. Bila malam gelap tiba, memantulkan cahaya mencorong bagaikan bintang timur. Sedangkan bila siang hari terang, berebut sorot dengan sang surya di langit biru bagaikan mata hari kembar.
     Pintu gapura terbuat dari lempengan papan tembaga dengan bingkai baja putih bercorak lar-laran, bagai sayap garuda kanan-kiri. Ditengah-tengah kedua daun pintu tembaga setebal dua jari itu terpahat ukiran gambar sebesar manusia dewasa, sepasang dewa-dewi asmara, Bathara Kamajaya di sebelah kanan dan Bathari Kama Ratih di sebelah kiri. Pahatan berukir pada lempeng-lempeng tembaga maha karya yang telah berusia ratusan tahun itu. begitu elok dan menawan. Semakin dipandang semakin nampak keindahan dan kecantikannya, seolah sedang memandang penuh kemesraan dengan senyumnya yang semakin mempesona. Bahkan bagi yang berlama-lama memandangnya bisa kesengsem dan kasmaran dengan keindahan kecantikan dan ketampanan ukiran dewa-dewi ini. Bila gapura membuka bagaikan perpisahan dua sejoli yang saling menanti merindukan dan bila gapura tertutup rapat nampak bagaikan sepasang kekasih yang sedang bersanding mesra.
     Di bawah kedua kaki gapura didudukkan sepasang arca gupala sebesar dua kali tinggi manusia. Arca Bathara Cingkara Bala dan Bala Upata Dewa Raksasa kembar penjaga pintu surga.

      Di dalam rongga mulut Arca Gupala ini sudah bertahun-tahun bersarang sepasang kumbang raksasa Bremana dan Bremani. Bremana kumbang jantan dan Bremani kumbang betina. Masing-masing hampir sebesar burung jalak. Bila gapura membuka dan menutup menimbulkan derak suara anggun menggema dibarengi dengan dengungan Bremana dan Bremani di dalam rongga mulut Gupala. Bagi yang sedang dalam suasana penuh keheningan batin, suara derak pintu gapura ditingkah dengungan kumbang raksasa itu bagaikan paduan suara senandung para pujangga dan para brahmana yang sedang mendendangkan kekidungan memuji kebesaran Yang Maha Agung. Senandung gita kekidungan sembari memohonkan doa untuk keagungan dan kelanggengan Tahta Sang Baginda Maharaja.
     Melangkah pelahan Sang Maharaja menerima sasmita dari para pengiring untuk memasuki gerbang Kaputren.

2
Keputren

...........seolah mengalirkan kehangatan yang menjalar dari ujung-ujung jemari ke pangkal siku, terus mengalir menghangatkan pangkal lengan bagian dalam, menendang-nendang jaringan syaraf halus di seputar pangkal payudaranya yang menantang. Bergetar hangat seluruh indera kewanitaannya. Tertengadah bersamaan wajah kedua Prameswari menatap sayu dengan kilatan cahaya matanya yang menghiba......... 
   

     Prameswari Nata, dua orang Garwa Padmi Sri Baginda Maharaja bernama Dewi Rohini dan Dewi Bodroini. Sepasang Prameswari idaman setiap pria. Begitu sempurna kecantikannya. Berdua bagaikan sepasang merpati yang saling berbagi dan saling mengasihi. Sama-sama putri raja yang berbakti dipersunting oleh seorang Maharaja Agung. Pantas menjadi pujaan dan suri teladan bagi seluruh penghuni Kedaton Mandura. sikapnya yang gandes-luwes merak ati, anor rogo memalatsih membuat Sang Baginda Maharaja siang malam senantiasa kesengsem gandrung kapirangu kayungyun merindukan kedua Prameswari. Nyata-nyata kedua Prameswari Maharaja ini dianugerahi kecantikan alami yang sempurna luar biasa. Bahkan ketika baru bangun tidur belum disentuh dandanan sekalipun, pesonannya telah memancar tersebar meredupkan semua cahaya yang ada disekelilingnya. Tindak-tanduknya begitu luwes indah mempesona. Tutur katanya lembut menghanyutkan siapapun yang mendengarkan. Pandangan matanya bening tajam bercahaya menembus jantung hati siapapun yang menatap wajahnya. jangankan para pria, banyak wanita yang terpesona, kayungyun keelokan wajah serta keanggunan sikap dan sopan-santun kedua Prameswari.
    Kecantikan alami yang sempurna. Seandainya seluruh pujangga di muka bumi ini dikumpulkan agar membuat kidung seloka tentang keindahan penampilan kedua Prameswari ini sudah bisa dipastikan mereka akan kehabisan kata-kata untuk bisa melukiskan keindahan serta kecantikan maha karya ciptaan Sang Hyang Maha Pencipta ini.
      Sungguh keduanya berperawakan sedang semampai dengan kulit kuning langsat, rambut legam mengurai sepinggang, disanggul tekuk ke atas menyisakan tebaran anak rambut halus di belahan kuduknya yang putih menggairahkan.  Anak rambut yang bertebar lembut terurai di atas dahi yang menawan. Sepasang alis bak bulan sabit, bulu mata lebat menukik anggun ke atas. Hidung mancung di atas belahan sepasang bibir bak rekahan buah manggis. Gigi bagaikan biji ketimun yang tertata urut rata seindah mutiara, berkilauan mengintip di balik rekahan sepasang bibir indah menggairahkan yang seolah tak pernah mengatup rapat sempurna. Sepasang pipi kanan dan kiri yang menguning semburat bagaikan belahan buah durian. Lehernya yang jenjang, mulus melandai turun ke dadanya yang anggun menyembul sepasang payudara ranum bagaikan cengkir gading. Sepasang pundak turun sampai ke bahu kanan kiri yang ramping bagai boneka kencana, berpagut dengan pangkal lengan yang memutih hingga ke siku lengan dengan jemari yang lembut bak pucuk bunga tanjung. Pinggang ramping bagaikan lebah madu. Pinggul padat berisi disangga sepasang paha terus ke betis bagaikan  kaki belalang gangsir. Tumit bundar merah jambu. Tapak kaki dengan jari-jemari lembut terawat rapi. Bila berjalan melangkah dengan anggun,. Ayunan gerakan kaki, betis, paha hingga hentakan pinggulnya mengguncang sepasang payudara yang menggetarkan dada. Sepasang bahu hingga lengan tangannya yang bagaikan gendewa gading berayun melenggang seakan menciptakan harmoni keindahan surgawi. Siapa yang memandang Sang Prameswari ketika melangkah anggun pasti terpesona. Sang Maharaja sendiri yang setiap saat memandanginya pun tidak pernah bosan-bosannya mengagumi dan mendambakan keelokan dan keindahan tingkah-laku kedua Prameswari. 
     Keduanya seolah bersepakat berbagi peran dalam memimpin kehidupan di dalam Kedaton. Dewi Rohini Prameswari pertama memimpin tata-cara upacara dalam kedaton, meliputi tata-tertib, tata raharja pengamanan keselamatan Maharaja dan para putra-putri sentana dalam Keputren. Sedangkan Dewi Bodroini memimpin pengelolaan keindahan, tata letak harta benda pusaka, tata ruang halaman dan pertamanan. Termasuk tata cara pemeliharaan harta benda seni budaya kerajaan dan pelatihannya. Semua diabdikan untuk membahagiakan Sinuhun Maharaja dan demi kebesaran Bangsa dan Negara.
     Ketika itu sang surya telah sepenggalah lingsir ke barat. Kedua Prameswari sedang duduk bersanding di bawah pohon kemuning menunggu kondurnya Sang maharaja. Sembari me nyaksikan para Emban, Cethi, Pawongan, Manggung, Ketanggung dan Jakalara yang sedang berlatih menari Bedaya Srimpi di pendapa dalem Keputren. Diiringi abdi dalem Wirapradangga, para penabuh gamelan pusaka keraton Kiai Madu Gangsa dengan suaranya  yang merdu ngrangin. Mengalun menggema melantunkan gerongan dan sindenan yang ditingkah oleh senggakan dan tepukan irama imbal angedasih, dari para abdi Waranggana dan Wiraswara. Suasana begitu damai tenang dibelai semilirnya angin sepoi-sepoi yang membawakan semerbak harumnya bunga-bunga di sekeliling Kedaton. Sungguh seakan keindahan dan kemewahan surgawi yang terhampar di madyapada bagi siapa saja yang  menyaksikannya.
     Bertepatan dengan suwukan gending Ketawang Subakastawa yang mengiringi beksan pamungkas, terdengar bunyi gong beri sebagai tengara penghormatan kondurnya Sang Maharaja ke Dalem Keputren. Serempak kedua Prameswari beranjak dari tempat duduknya dengan langkah anggun mempesona menyangga bokor kencana berisi tirta pawijikan, yaitu air kembang setaman yang harum untuk membasuh sepasang kaki Maharaja.
     Tepat di anak tangga terakhir pintu gerbang kedaton, kedua Prameswari berjongkok di depan kaki Sang Maharaja. Kedua Prameswari dengan sepenuh cinta dan pengabdiannya membasuh sepasang kaki Maharaja. Gerakannya gemulai lembut penuh perasaan dan kepasrahan serta pengabdian. Berdua bergantian saling membasuh kaki Maharaja yang sebenarnya tidak pernah dikotori oleh barang sebutir debu pun. Karena selama ini sepasang kaki ini tidak peranh menginjak tanah yang kotor. Kemanapun Maharaja melangkah, di dalam lingkungan Kedaton senantiasa menapaki jalan-jalan yang ditata dengan ubin batu pualam yang bersih mengkilat, atau taburan pasir malela dengan hamparan batu akik berwarna-warni. Sedangkan apabila di luar Kedaton senantiasa menapaki babut permadani merah yang digelar sepanjang jalan yang akan dilewati Sang Maharaja. Namun sebagaimana adat kebiasaan, setiap kali Maharaja pulang ke dalam Kedaton selalu disambut Permaisuri dengan tirta wijikan. Ini sebagai perlambang, ketika masuk ke dalam Keputren, Maharaja harus suci bersih dari semua noda yang mungkin terbawa ke dalam Kedaton. Sementara Prameswari yang dengan penuh cinta dan pengabdiannya harus mampu membersihkan semua kotoran yang menodai jiwa dan raga Sang Maharaja.
     Sementara kedua Prameswari mensucikan sepasang kakinya, Maharaja dengan penuh kasih dn kemesraan memandangi pundak hingga punggung kedua Perameswari yang menunduk di hadapan kakinya. Gerakan keduanya yang anggun lemah gemulai membayang ke atas belahan punggungnya yang mulus bagaikan pualam, menggetarkan sukma. Sri Baginda membayangkan ketulusan dan kepsrahan yang indah ketika berdua di peraduan. Pelahan dengan penuh kemesraan Sang Maharaja meletakkan kedua belah tangannya ke atas pundak kedua Prameswari yang licin mulus, memberi isyarat untuk bangun dan berdiri. Serentak keduanya berdiri mengapit di kanan kiri pinggang Sang maharaja.
      Seisi Kedaton ikut berseri-seri menyaksikan keserasian dan kemesraan abadi yang membayang dalam rona wajah pasangan agung ini. Jangankan manusia takkan terhanyut, sedang bunga-bunga di taman merekah serentak bermekaran menebar keindahan dan wewangian. Burung-burung kutilang, jalak, cucak dan srigunting mengoceh bersahut-sahutan. Balam, tekukur, dan perkutut mendekut berirama bak paduan suara irama gending surgawi. Angin semilir meniup menghantarkan harum sedapnya rerumputan yang menghijau di sekitar taman Kedaton. Matahari yang cerah pun seolah meredupkan sinar dan cahaya panasnya, untuk ikut memberikan penghormatan kepada Maharaja kekasih dewa-dewi kayangan. Sayup-sayup mengalun gending Monggang Ketawang mengiringi Maharaja dan Prameswari memasuki Keputren.
     Di Sasana Andrawina, ruang bersantap Maharaja, kedua Prameswari mendampingi Maharaja bersantap. Sebagaimana adat kebiasaan di dalam Kedaton, kedua Prameswari menjajari tempat palenggahannya Maharaja bersantap. Sementara para emban cethi pengatur tata boga sudah menjauh di balik tirai menanti isyarat dari kedua Prameswari.
     Membayang nuansa yang kurang berkenan di wajah Sang Maharaja. Sangat nampak ketika menyantap daharan yang menjadi kegemarannya pun kelihatan kurang lahap. Kedua Prameswari pun saling melempar lirikan mata memberi isyarat keduanya merasakan hal yang sama. Ada sesuatu yang kurang berkenan di hati Maharaja. Namun keengganannya menekan keduanya untuk tetap tenang dan menunduk menanti Sinuhun selesai bersantap.
     Kesunyian yang hambar ini akhirnya tertangkap juga oleh kepekaan batin Sang Maharaja. Sembari menyelesaikan dahar santapannya, sekilas memandang kanan kiri kedua Permaisurinya, Maharaja bersabda: "Nyai Ratu berdua, mengapa nampak lain dari biasanya. Ingsun merasakan ada hal-hal yang kurang berkenan. Apakah ada sesuatu yang terjadi di antara kita?"
     Saling berpandangan kedua Prameswari berbinar cahaya matanya. Gejolak dalam dadanya ingin berebut menghamburkan beribu kata-kata memanja menyambut belaian kata mesra dari sang pujaan hati. Namun Dewi Bodroini dalam kedudukannya sebagai Prameswari yang lebih muda sangat hormat dan begitu menyayangi Prameswari Ratu Dewi Rohini, maka dengan isyarat kerlingan matanya mempersilakan Dewi Rohini yang berunjuk sembah: "Mohon beribu ampun Kakanda Baginda Maharaja, Prameswari Paduka, hamba berdua lama menunggu kedatangan Baginda  kondur dari Pasewakan. Hari ini beda dengan biasanya, Paduka miyos monconiti agak lama, berbeda dengan hari-hari biasa. Dan ketika Paduka kondur Kedaton, nampak mendung bergelayut di pasuryan Paduka. Bahkan ketika bersantap pun Paduka nampak kurang bergairah, tidak sebagaimana biasanya. Sekiranya ada hal-hal yang kurang berkenan dengan sajian santapan Kedaton hari ini, adalah semata keteledoran hamba berdua. Kalau Paduka tidak berkenan mengampuninya, kepada siapa lagi hamba berdua memohon ampunan, Paduka Kakanda Prabu."
     Kata-kata yang halus merdu namun mampu menembus jantung hati. begitu kuat getaran asmara yang dipancarkan oleh kedua Prameswari ini. 
     Tertegun Sang Maharaja memandangi wajah keduannya yang tertunduk sendu dengan helaan napasnya yang lembut perlahan menekan belahan dadanya yang menawan. Suasana seperti inilah yang membuatnya tidak tahan terhanyut oleh pesona kedua Permaisurinya sendiri, yang sudah hidup bersama seperaduan puluhan tahun. Dengan penuh mesra Maharaja meraih dan menggenggam jemari yang halus lembut kedua Permaisurinya. Sang Maharaja bersabda: "Nyai Ratu berdua, sungguh tidak ada yang kurang dari semua yang Adinda berdua sajikan. Adinda berdua sangat memahami bagaimana Ingsun begitu mencintai dan menyayangi Permaisuriku berdua. Sungguh, seandainya Adinda berdua tidak menyajikan sebutir santapan pun, Ingsun tidak akan kecewa. Karena rasa lapar dan dahaga ini bisa lenyap, ketika Kakanda memandang pesona keindahan dan ketulusan Adinda berdua. Kerajaan bahkan dunia seisinya ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan keindahan. kemuliaan dan ketulusan pengabdian Adinda berdua."
     Semburat merona merah jambu wajah ayu kedua Prameswari demi mendengar pujian Sang Pujaan hati. Genggaman tangannya yang erat seolah mengalirkan kehangatan yang merambat dari ujung-ujung jemari ke pangkal siku, terus mengalir menghangatkan pangkal lengan bagian dalam, menendang-nendang jaringan syaraf halus di seputar pangkal payudaranya yang menantang.  Bergetar hangat seluruh indera kewanitaanya. Tertengadah bersamaan wajah kedua Prameswari menatap sayu dengan kilatan cahaya matanya yang menghiba, tak tahan menanggung getaran gelora asmara.
     Sadar Sang Maharaja hampir larut dalam buaian asmaradahana, segera dengan pelahan melepas dengan kelembutan genggaman tangannya. Sambil menahan gelora dalam dadanya, dengan cekatan Dewi Bodroini meraih bejana emas putih berisikan minuman penutup santapan Maharaja, berupa ramuan rahasia Kedaton peninggalan para leluhur untuk kebugaran dan keperkasaan Sang Maharaja. Dengan penuh pengabdian dipersembahkannya minuman itu kepada Maharaja yang dengan senyum bahagia menyambut dan menenggaknya habis.
     Sejenak kesegaran menyusup ke dalam rongga dada Maharaja, kini membayang di dalam kalbunya betapa kebahagiaan ini begitu lengkap seandainya diramaikan oleh kehadiran putra-putri Kerajaan yang sangat didambakannya bersama. Sembari menatap kedua Prameswari, pelahan dan hati-hati Baginda Maharaja bersabda: Nyai Ratu berdua, seperti yang Adinda berdua rasakan, memang sesungguhnya ada hal-hal yang tidak biasanya terjadi pada pasewakan agung hari ini. Adipati Anom Warakangsa kembali mothah dengan keinginannya yang neko-neko. Ingsun menduga Warakangsa sudah mulai mengincar Widorokandang.  Oleh sebab itu hari ini sudah Ingsun utus Adinda Adipati Aryoprabu Rukma sesinglon melawat ke Widorokandang menyambangi dan memperingatkan Ki Demang Antagopa agar semakin meningkatkan kewaspadaannya. Sedangkan Adinda Adipati Aryoprabu Hugrasena Ingsun utus meminta bantuan Yayi Ratu Kunthi Talibranta mohon kiranya berkenan mengijinkan putranya Panenggak Pandawa Si Bima untuk membantu menyelesaikan perkara Warakangsa yang sudah mulai mbalelo ini.  Semoga saja Yang Maha Wisesa berkenan mengampuni dosa-dosa kita dan segera memulihkan kembali ketenteraman dan kesejahteraan seluruh Negeri Mandura."
     Mendengar penuturan Sang Maharaja, kedua Prameswari bersembah menunduk berurai air mata. Tersentuh hati mereka berdua mengenang masa-masa dua puluh tahunan lalu. Sesosok bayi lelaki bule yang sehat bugar dari kandungan Dewi Rohini dan sepasang bayi kembar dampit putra-putri Dewi Bodroini, yang ketika itu di tengah suasana haru-biru antara bahagia dan kesakitan seusai melahirkan mereka. Hanya sempat membelai dan menciumnya sekilas, bahkan jabang bayi merah itu belum sempat menyentuh puting payudaranya. Mereka bertiga segera dimasukkan dalam kemasan yang sangat rapi. Dengan penyamaran penuh ketiganya dilarikan oleh pasukan rahasia penunggang kuda kerajaan. Dipimpin langsung oleh kedua Adipati Anom Aryoprabu Hugrasena dan Aryoprabu Rukma, mereka diungsikan singidan di lereng gunung Argosunya di tepian bengawan Jamuna sekitar pemakaman raja-raja Mandura Astana Gandamadana. Setelah lima tahun kemudia dengan permohonan yang sangat kepada Maharaja akhirnya diijinkan kedua Prameswari menyambangi buah hatinya. Untuk sampai ke pasingidan, Prameswari berdua harus menyamar sebagai pedagang jamu dan pesinden yang mengamen mbarang cokek. Sementara para pengawal menyamar sebagai penambang rakit penyeberangan bengawan Jamuna dan penambang rakit pengangkut bambu hutan. Penyamaran ini dipimpin langsung oleh Aryoprabu Rukma yang menyamar sebagai tukang bebedag pikat pencari burung di hutan-hutan dan prgunungan.
    Setelah beberapa hari, penyamaran yang sempurna ini akhirnya berhasil menyusup ke Dukuh Widorokandang, tanah perdikan tempat Ki Demang Antagopa dan Niy Sagopi, menmyamar menjadi perawat kuda-kuda kerajaan. 
     Dengan tekun penuh pengabdian, mereka merawat ratusan kuda kerajaan di pedukuhan sepi terpencil di pinggir bengawan Jamuna. Sungguhpun demikian tetap saja nampak  perbedaan yang mencolok dibandingkan suasana pedusunan yang lain. Dukuh Kademangan  Widorokandang sangat tertata rapi, bersih dan banyak tanaman pohon, buah-buahan serta bunga-bunga yang menghiasi sepanjang pinggir jalan di sekitar Kademangan. Sehingga Pedukuhan Widorokandang akhirnya dikenanl sebagai dukuh yang asri, banyak buah-buahan dan sayuran serta hewan piaraan dan hasil kerajinan yang mengundang para tengkulak dan pedagang yang mencari mata dagangan di sekitar Kademangan Widorokandang.
Sesungguhnya hal ini berkat kepemimpinan Ki Demang Antagopa, agar para pengawal tidak jenuh tinggal berpuluh tahun di pedukuhan yang sepi terpencil dikaki gunung. Mereka diijinkan bercocok-tanam dan merawat lingkungan serta memelihara binatang ternak kesukaan masing-masing.
     Suasana yang sedemikian tenang dan tenteram di lereng pegunungan ini membuat ratusan kuda-kuda itu sangat terawat, sehat dan tangguh. Sehingga kelak sangat bisa diandalkan bila dibawa dan diterjunkan ke medan perang maupun di arena apa saja. 
     Namun sesungguhnya tugas utama Ki Demang adalah merawat, membesarkan dan yang terpenting mengamankan kelima jabang bayi titipan Kerajaan. Kelima jabang bayi ini tidak diperkenankan keluar dari pagar Kademangan. Semua pengasuh, pekerja dan tetangga sekitar Kademangan adalah para prajurit telik sandi pilihan, pengawal kerajaan yang menyamar dengan mempertaruhkan nyawanya demi melindungi kelima titipan Kerajaan ini. 
     Ketika itu kira-kira berjarak sepelemparan lembing, Dewi Rohini dan pengawalnya yang menyamar sebagai pesinden dan rombongan pengamen mbarang cokek yang sedang berteduh di bawah pohon kedondong yang rindang di depan pintu gerbang Kademangan yang tertutup rapat. Ia bertemu dan menanyakan arah jalan menuju Pemakanan Ganda Madana kepada seorang mbakyu pedagang jamu gendong yang tak lain adalah Dewi Boroini yang sudah berubah sama sekali menjadi penjual jamu gendong dengan pakaian pedesaan dengan rambut kusut yang tertutup caping gunung anyaman dari bambu..
     Sambil melayani jamu kepada tiga orang anggota rombongan pengamen, pedagang jamu dan pesinden ini dengan bahasa mereka saling  menanyakan kabar berita selama penyamaran. Banyak hal-hal yang sangat memilukan terjadi, ketika mereka berdua dengan penuh kerelaan harus berpanas dan berhujan-hujan menyelusuri perkampungan dan sungai untuk menghindari agar jangan sampai terbuka penyamarannya.Seketika pintu gerbang utama terbuka lebar, muncullah seorang bocah lelaki berusia lima tahunan dengan dada telanjang berkulit putih mulus dengan sorot mata tajam, rambut pirang bule tergerai lebat sebahu. Menunggang seekor anak gajah dipandu oleh seorang kakek. 
     "Tidak salah lagi." Bisik Dewi Rohini. "Itu adalah Ki Demang Antagopa. Tapi mengapa menuntun anak gajah. Bukankah lebih pas kalau seekor kuda perang yang gagah  perkasa yang  dipegangnya."
     Ketika makin mendekat, remaja yang di atas punggung gajah itu semakin jelas roman mukanya.. "Benar kiranya.." Kata Dewi Rohini dalam hati. " Dia adalah putraku si Calon Putra Mahkota penerus kejayaan Kerajaan Mandura. "Duh Gusti Yang Maha Agung, lindungilah anakku makhluk ciptaan Mu yang tanpa dosa tapi harus ikut menanggung derita orang tuanya ini. Kepada Mu ya Maha Pencipta hamba serahkan keselamatan dan masa depannya." 
     Deras air mata tumpah seakan tak terbendung. Ingin rasanya melompat dan memeluknya erat-erat buah hati yang dirindukannya siang malam ini. Hanya kesadaran akan keselamatan dan masa depan yang ia mohonkan kepada Yang Maha Pencipta lah yang akhirnya mampu menahan dan mengendalikan gejolak di dalam dadanya.
     Dengan penuh kasih sayang penunggang gajah itu memetik buah jambu air yang ranum dari atas punggung gajah lalu memberikannya kepada binatang tunggangannya. Kemudian dengan santainya telungkup di punggung gajah sembari membelai-belai telinga lebar tunggangannya. Gajah itupun membalas dengan melilitkan belalainya ke kaki anak bule itu. Suatu persahabatan yang menyentuh hati siapa saja yang melihatnya.
     Ketika mengetahui ada penjual jamu di depan gerbang rumahnya si Kakek memanggil seseorang dari balik gerbang. Ternyataseorang wanita tengah baya yang muncul. Dari sikap dan penampilannya pasti bukan sembarang wanita pedusunan. Wanita ini membawa tiga buah canthig, tempat minum dari tempurung kelapa, membeli jamu kunyit asam. 
     "Tidak salah lagi. Ini pasti Nyai Sagopi." Kata Dewi Rohini msih dalam hati.  Biar menyamar menjadi perempuan dusun, biar jadi bulus poleng Dewi Rohini tidak akan pangling dengan lagak lagu si Penari Bedoyo Srimpi handal dengan suara emasnya yang yang merdu bak buluh perindu. Dia adalah abdi kinasih, ahli tataboga pengawas toto-dahar santapan  Maharaja. Siapa pun tidak akan mudah melupakan sorot matanya yang setajam burung elang ketika mewaspadai sesuatu. Tetapi bisa berubah sangat teduh, bening dan polos bercahaya bak meteor yang mampu menembus jantung hati Maharaja Basudewa dan mereguk habis kasih syangnya. Sehingga diambilnya dia sebagai Garwo Ampil kesayangan Maharaja. Dari rahimnya kemudian lahirlah putra-putri dampit yang telah lebih dahulu diungsikan di pasingidan ini juga
     Bertanya si mbak ayu jamu gendiong sambil menerima tiga buah canting untuk diisi dengan jamu kunyit asam: "Yang dua untuk siapa Den Ayu ?"
     Terkesiap Nyai Sagopi mendengar suara lembut penjual jamu gendong ini. Ia merasakan sesuatu dan serasa mengenal akrab sekali suaranya. "Ah mungkin ia hanyalah salah satu dari tukang jamu gendong langganan yang sering ketemu di pasar." ujarnya. Tetapi hati kecilnya tetap menyanggah. Bukan. Suara ini sangat ia kenal. Memang agak aneh, kadingaren pagi ini ada penjual jamu gendong berhenti di depan gerbang Kademangan. Nalurinya sebagai pengawal kerajaan terbit. Sambil meraba patrem di balik kembennya, mata elangnya segera meneliti si Penjual jamu gendong. Dengan kepiawaian penyamarannya Nyi Sagopi merunduk, jongkok mengambil jarak dengan si penjual jamu. Mata elangnya mengawasi jemari si mbok jamu. Jemarinya yang halus lentik dan cekatan meracik jamu menebar aroma yolowadi meliputi merambah suasana yang adem ayem di sekitar Kademangan.
     Menutupi getaran hatinya, Nyi Sagopi menjawab pertanyaan mbok jamu yang agak lama tergantung. Ujarnya: "Mbakyu, janganlah memanggil saya raden ayu. Panggil saja Nyai Demang. Saya ini istrinya Ki Demang itu, yang lagi mengasuh anaknya. Dasar anak bandel, kesenangannya juga aneh-aneh. Bapaknya kewalahan. Minta tunggangan saja kok gajah. Mau jadi apa itu anak."
     "Mau jadi Maharaja Mandura." Sela si mbok jamu, sambil menunduk.. Makin terlindungi wajahnya oleh capingnya yang nampak kebesaran.
     "E, e. Jangan sembarangan bicara. Sekarang ini berbicara harus hati-hati. Nanti dikira kepingin ngraman menginginkan kekuasaan Negara lho. Bisa bahaya. Setidaknya malah disangka mbak ayu ini sok tahu." Nyai Sagopi sengaja memperpanjang pembicaraan ingin mengetahui siapa sejatinya  penjual jamu gendong ini.
     Sambilmenyerahkan canting berisi jamu kunyit asam, mbok jamu berkata lirih: "Ya, tahu saja. Saya kan ibunya. Saya yang melahirkannya."
     Bagaikan tersambar seribu halilintar Nyi Sagopi hampir mati berdiri. Segera surut hendak bersembah, tetapi segera dicegah oleh Dewi Rohini si mbok jamu, katanya: "Sudahlah Nyai. demi kewajiban luhur Nyai, hendaklah Nyai berlaku biasa saja, sewajar mungkin. Janganlah berlaku yang aneh-aneh, sehingga merusak penyamaran kita yang sudah susah-payah kita bangun. Saya hanya ingin menyaksikan dengan mata-kepala sendiri bahwa putra-putriku, masa depan Kerajaan Mandura, tumbuh sehat di tangan asuhan Ki Demang sekalian."
    keyika Nyai Sagopi hendak memberitahukan kepada suaminya, Dewi Rohini si pesinden pengamen sambil mengembalikan canting kosong memberi isyarat agar Nyai Sagopi tidak beranjak. Ujarnya: "Nyai tidak usah kaget. Sekitar kita sekarang ini, semua adalah kawan-kawan Nyai, pasukan pengawal kedaton. yang sedang mbebedag pikat di atas pohon sukun itu adalah gustimu Aryoprabu Rukma yang memimpin pasukan pengawal penyamaran ini."
     Lega rasanya mendengar penuturan Guati ratunya berdua. Nyai Sagopi begitu terguncang dan trenyuh menyaksikan betapa besar tekad kedua Prameswari ini menyusup ke pedukuhan, untuk menyaksikan sendiri keselamatan dan pertumbuhan darah-dagingnya
     Sambil menatap tajam ke wajah kedua sesembahannya itu, Nyai Sagopi bergumam lirih: "Sembah sungkem bakti hamba Gusti Ratu, begitu sempurnanya penyamaran Gusti Ratu berdua, sehingga hamba benar-benar tidak mengenalinya. Gusti Ratu, sebagaimana Gusti telah mengetahuinya, yang di punggung gajah itu adalah putranda Gusti Pangeran Kakrasana. Sedang remaja berdua di antara para abdi gamel yang sedang ikut gladi pencak silat yang keduanya mengenakan ikat kepala hitam itu adalah putra paduka Pangeran Narayana dan putraku Rakyan Hudawa. Sementara di bawah pohon kembang kenanga di depan pendopo itu adalah putri Paduka Rara Bratajaya yang berkulit hitam manis, sedangkan yang berkulit kuning langsat itu adalah putriku nini Niken Rarasati. berkat doa restu Paduka Gusti Ratu mereka semua tumbuh sehat dan cerdas. Hamba percaya, ketika sudah besar nanti mereka akan menjadi ksatria perkasa penerus kejayaan negeri Mandura."   
     Sampai di sini, lamunan itu terputus. Gambaran mengenai putra-putrinya di pasingidan yang masih membayang dan terpatri dalam kenangan kedua Prameswari hanyalah sampai di sini dan tetap saja begini. Selebihnya kalau ada perkembangan baru adalah laporan dari Adipati Aryoprabu Rukma yang bertangungjawab untuk selalu mengamat-amati dan mengawasi setiap saat pertumbuhan putra-putri kerajaan itu.
     "Yayi Ratu Rohini, Kakanda ingin segera naik ke Sanggar Pamujan. Apakah semuanya sudah disiapkan?" Tanya Baginda Maharaja. 

     Tersadar dari lamunannya kedua Prameswari serempak menjawab: "Titah Baginda Maharaja. Sanggar Pamujan dan segala uba-rampenya telahsamapta sejak tadi. Apabila Paduka berkenan memuja samadi sewaktu-waktu hamba siap menyertai."
     Tanggap sasmita kedua Pramewswari, menggandeng Maharaja masuk ke dalam Sasana Busana, menggantikan Busana Kebesaran kerajaan dengan Busana Kapanditan. Maharaja berpakaian jubah dan surban serba putih. Sementara kedua Prameswari mengenakan kain panjang, serta kerudung sutra putih menutup seluruh tubuh kecuali wajahnya. Keduanya mengampil padupan berisikan bara api suci dari arang kayu cendana sari, ratus, gaharu dan rasamala yang membakar dupa setanggi dan kemenyan putih. Asap padupan mengepul ke angkasa berwarna putih jernih menebarkan semerbak harum mewangi menaungi seluruh kedaton.          
      Hening seisi Kputren, demi tercium aroma semerbak wangi. Mereka sudah sangat mengenali, bahwa ini titi mangsa Sang Maharaja naik ke Sanggar Pamujan, memohon petunjuk kehendak Hyang Maha Kuasa.


3

di
Luar Paseban  

   ......... Sebagai prajurit turun-temurun dan terlahir sebagai terah ksatria putra raja, pasti saya mendambakan pengabdian kepada bumi pertiwi. Gugur di medan perang membela negeri adalah idaman setiap ksatria.
Tapi sekarang ini apa yang saya perjuangkan ? Apa yang saya pertaruhkan ? 
Kalau seandainya kecilnya saya kalah di medan pertandingan, gedenya mati,
maka bukan mati cara ini yang saya inginkan ................  


     Adipati Anom Warakangsa sengaja menyongsong turunnya kedua Adipati Aryo sambil ingin tahu kalau-kalau sepeninggal Adipati Anom dari hadapan maharaja ada titahnya yang perlu diketahuinya. Sambil bersembah hormat Warakangsa menyambut kedua Pamanda Adipati: "Wahai Pamanda berdua adakah titah Baginda Ayahanda Maharaja yang perlu ananda ketahui.?"
     Menyahut Aryoprabu Hugrasena: "Secara lebih terperinci tidak ada Ananda Prabu Anom. Hanya sekali lagi baginda Maharaja berpesan agar acara ini dipersiapkan sebaik-baiknya dan jangan sampai timbul hal-hal yang tidak kita inginkan."
     "Lha, yang itu Ananda juga sudah memahami, Pamanda Adipati. Kemudian bagaimana rencana adu jago prajurit pilihan kita itu. Apakah Paman Adipati Aryo sudah siap dengan jago dari Kerajaan untuk kita adu melawan jago dari Kadipaten ?" Adipati Anom mendesak.
      "Ya, Pangeran Adipati Anom, saya yang diperintahkan untuk mencari jago Kerajaan." Sambung Adipati Aryoprabu Hugrasena. "Pangeran Adipati Anom mengetahui di Negeri Mandura ini tidak kekurangan prajurit pilihan yang sudah terbukti berpengalaman di berbagai medan perang. Mereka sangat terlatih dan rata-rata memiliki kesaktian yang cukup tinggi. Tentu akan menjadi sangat menarik untuk dipertontonkan kehebatan mereka." 
     Sedikit meninggi nada bicara Adipati Anom: "Paman Aryo mohon tidak sembarangan memilih jago. Karena jago dari Kadipaten adalah Paman Patih Suratrimantra. Ia terkenal sakti mandraguna. Akan sangat tidak imbang kalau diadu dengan sembarang prajurit. Setidak-tidaknya lawan lawan paman Suratrimantra itu juga senopati atau panglima perang yang sepadan. lebih menarik lagi kalau Paman Adipati Aryoprabu sendiri yang berkenan maju ke blabar kawat Sambil sesekali memberikan hiburan kepada seluruh kawula wadya bala Mandura."
     Merah padam wajah Aryoprabu Hugrasena mendengar ucapan Pangeran Adipati Anom yang menancap tajam di ulu hatinya. Dengan sepenuh kemampuannya Aryoprabu Hugrasena berusaha menahan dan mengendalikanamarahnya. Ujarnya: "Ananda Prabu Anom, soal itu sangat mudah diatur. Kalau memang harus saya yang maju ke blabar kawat, jangan dikira Hugrasena takut perang tanding melawan Suratrimantra. O, o. Tidak, sekali-kali tidak. Kalau itu memang demi negeri ini, demi kawula wadya dan Maharaja Mandura, swargo dak gawe hayu. Lama pamanmu inimukti wibawa, menikmati kemewahan dan kehormatan. Tapi sejujurnya belum cukup darma-bakti dan pengabdian saya dalam membela negeri ini. Sebagai prajurit turun-temurun yang terlahir sebagai terah ksatria putera raja, pasti saya mendambakan pengabdian kepada bumi pertiwi. Gugur di medan perang membela negeri adalah idaman setiap ksatria. Tapi sekarang ini, apa yang saya perjuangkan ? Apa yang saya pertaruhkan ? Kalau seandainya kecilnya saya kalah di medan pertarungan ini atau gedenya mati, maka bukan mati cara ini yang saya inginkan."
      Gemetar bibir Aryoprabu Hugrasena menahan amarah yang meluap-luap. Sekali ini ia merasakan penghinaan yang luar biasa. Namun sekuat tenaga ia berusaha menahan diri, demi menghormati ang Maharaja. Ada agenda yang masih tersembunyi di balik sikap Prabu Anom Warakangsa. Aryoprabu Hugrasena sadar ada sesuatu yang membuat Warakangsa semakin berani bertingkah sembarangan di hadapan Maharaja dan para Sentana.
     Demi melihat Aryoprabu Hugrasena hampir meledak, Prabu Anom Warakangsa merasa pancingannya mengena. Semakin menjadi-jadi keinginannya untuk mempermainkan dan memancing amarah Adipati Aryoprabu Hugrasena. Ujarnya: "Mohon sedikit bersabar Paman Aryo. Kurang bijaksana mengumbar kemarahan di depan ribuan para punggawa. Akan lebih elok kiranya kalau kemarahan Paman Aryo ditampilkan nanti ketika melawan jago Kadipaten paman Suratrimantra. O, ya. Satu hal penting lagi yang hampir saja kelupaan. Soal taruhan paman. Saya belum mendengar apa dan seberapa besar nilai yang akan dipertaruhkan kerajaan. Sementara Kadipaten seisinya Ananda pertaruhkan demi kerajaan. Kalau jago Kadipaten kalah atau sampai mati di medan pertarungan, saya dan seluruh wadya bala memilih menyerah meninggalkan Kadipaten, ngambrang glandangan keluar-masuk hutan tanpa tempat tinggal. Tetapi sebaliknya kalau jago Kerajaan kalah atau mati di blabar kawat, Sinuhun Ayahanda Prabu dan seluruh wadya balanya yang setia harus meninggalkan kerajaan. Mandura seisinya menjadi milik Maharaja Prabu Warakangsa." Dengan semangat menyala-nyala Warakangsa sesumbar.
     "Nah, benar apa yang saya duga." Membisik dalam hati Adipati Aryo. "Semakin jelas ke mana arah kehendak si Warakangsa."
     Dengan ketenangan luar biasa, Aryoprabu Rukma yang sejak tadi diam tiba-tiba menyela: "Kakanda Aryoprabu Hugrasena dan Ananda Adipati Anom Warakangsa. mari kita endapkan dulu, kita tenangkan hati kita masing-masing. Kita mengemban dawuh Kakanda Maharaja. Mari kita laksanakan tugas kita sebaik-baiknya. Persiapan pesta keramaian besar-besaran ini sudah menjadi titah Baginda Maharaja,. Harus dilaksanakan sesuai dengan rencana. Untuk itu mari kita bubarkan para wadya bala untuk segera melaksanakan persiapan pesta besar dawuh Sang Maharaja." 
     Ketiga pembesar negara ini sepakat bubaran. Adipati Anom Warakangsa segera memberi penghormatan kepada kedua Adipati Aryoprabu Hugrasena dan Aryoprabu Rukma dan segera menaiki kereta kebesaran Kadipaten yang diiringi oleh puluhan pengawal berkuda di depan dan di belakang.
     Sepeninggal Adipati Anom Warakangsa, Aryoprabu Hugrasena dan Aryoprabu Rukma memerintahkan Patih Saragupita untuk melakukan kirab wadyabala berkeliling kerajaan sampai tapal batas ibukota Negeri Mandura. Sementara Patih Yudawangsa siaga menjaga keamanan dalamKedaton dan sekitarnya. 
     Berlawaan arah dengan para prajurit yang melakukan kirab ke batas kota, perjalanan penyamaran kedua Pangeran Adipati masing-masing berjalan terpisah. Aryoprabu hugrasena bersama sepuluh penunggang kuda pilihan memacu menembus kegelapan hutan, dengan harapan sebelum siang hari esok sudah sampai di Astinapura. Sementara Aryoprabu Rukma menyamar sebagai tengkulak yang menjual barang-barang keperluan sehari-hari dari kota untuk ditukar dengan minyak kelapa dan gula aren. Sang Tengkulak menggiring dua pedati membawa karung-karung dagangan. Di sela-sela tumpukan karung itu tersembunyi dua bnelas orang pajurit telik sandi pilihan yang menyamar sebagai kuli angkut-angkut barang di pasar untuk melindungi sang Pangeran Aryo.
     Perjalanan yang santai di keremangan senja kala, di padukuhan yang dikelilingi hamparan sawah gemadung yang baru melewati tiga pekan musim tanam. Gemericik air sawah dari pancuran bambu, dengan genangan airnya yang memantulkan rona merah lembayung senja. Ditingkah bunyi katak hijau dan kodok bangkong bersahut-sahutan bak harmoni paduan suara. Orkestra alam ini mengundang bangau putih yang melayang dalam senyap, mendarat dan terdiam, membeku dengan satu kaki menunggu datangnya makan malam.
     Angin sepoi-sepoi berhembus dari arah padukuhan di kaki bukit. Semilir membawa aroma kepulan asap dari sela-sela rumpun bambu. Satu-satu mulai nampak kelap-kelip pelita dari sela-sela dinding bambu rumah kampung.
     Melayang angan-angan kenangan Aryoprabu Rukma terhanyut oleh aroma angin senja yang sama di tepi hutan Dandaka ketika itu. Sepulang menyelesaikan tugas negara menumpas musuh. Kembali dari medan perang dengan membawa kemenangan yang gemilang. Musuh berhasil ditumpas, negeri diduduki. Harta kekayaan menjadi barang rampasan perang sebanyak dua puluh tiga pedati penuh. Ditambah satu jempana berisi seorang putri cantik jelita dari Kedaton Kumbina yang akan dipersembahkan kepada Maharaja sebagai bukti kemenangan.
     Dewi Maherah putri rampasan perang ini adalah putri tunggal Raja Boja Mahera dari Negeri Kumbina. Ketika itu, Kumbina negeri sahabat taklukan Kerajaan Mandura, walau tidak sebesar Mandura namun kemakmuran dan kesejahteraannya termasyur ke manca negara. Negeri yang tenteram damai aman makmur itu suatu ketika tiba-tiba dijarah dan dibumi-hanguskan oleh Raja Gorawangsa dari negeri tetangganya Sengkapura. Penyebabnya tiada lain adalah karena cinta dan lamaran Raja Gorawangsa kepada Dewi Maherah ditolak. Tersinggung oleh sikap penolakan tersebut Raja dan seluruh keluarganya ditumpas, negeri dikuasai. Tinggallah tersisa Dewi Maherah seorang, yang hendak dipermaisurikan. Namun sang Dewi bertahan dan tetap menolak bahkan mengancam, kalau tetap dipaksa, ia dengan senang hati akan bunuh diri suduk sarira menggunakan patrem yang selalu terselip di balik kembennya.
     Maharaja Prabu Basudewa yang mendengar berita ini mengutus Adinda Adipati Aryoprabu Hugrasena dan Aryoprabu Rukma untuk membebaskan negeri Kumbina dari cengkeraman Raja Gorawangsa. Setelah berhasil mengusir Raja Gorawangsa dan wadya balanya, Aryoprabu Hugrasena memimpin pemerintahan sementara di Negeri Kumbuna yang mencakup wilayah Sengkapura. Sementara Aryoprabu Rukma memimpin pasukan menang perang kembali ke negeri Mandura bersama Dewi maherah sebagai putri Boyongan.
     Perjalanan selama dua hari dua malam adalah perjalanan panjang yang menorehkan kenangan yang sangat membekas di hati Aryoprabu Rukma. Selain keceriaan, sorak-sorai para prajurit yang membawa pulang kemenangan, juga kesegaran suasana alam di sepanjang perjalanan. Berjalan menyusuri pedusunan, hamparan sawah menguning yang terlindung oleh kerimbunan hutan bambu di tepian bengawan Jamuna. Sesekali memberikan kesempatan para prajurit untuk melepas lelah dan mandi di kali bengawan yang mengalirkan air pegunungan yang bening.
     Suatu saat ketika Aryoprabu sedang ikut mandi di tepi bengawan yang landai berpasir putih itu, dikagetkan oleh gemulainya langkah kaki Dewi Maherah yang menghampirinya dan masuk ke dalam air tepian bengawan. Air hampir menyentuh lutut yang terbalut kain yang basah. Memohon Dewi Maherah: "Wahai Ksatria Kerajaan Mandura. Panglima kemenangan yang dihormati seluruh prajurit. Apakah Paduka akan mengijinkan sekiranya hamba ikut mandi di sini. Sudah sehari semalam hamba belum mandi selama perjalanan ini."
     Terperanjat Aryoprabu Rukma. Tisdak menduga dalam keadaan basah kuyup begini akan berhadapan dengan seorang putri cantik jelita. Agak gugup Aryoprabu menjawab: "Kalau memang berkenan, silakan Kusuma Dewi. Tetapi hendaklah jangan terlalu jauh ke tengah karena arus airnya cukup deras."
     Dengan gerakan lembut Aryoprabu memberikan isyarat kepada para pengawal yang dengan cepat menyusun gelar perlindungan melingkar membelakangi Dewi Maherah yang sedang melangkah masuk ke dalam air untuk segera kungkum.
     Sambil melangkah, Dewi Maherah berkata: "Sungguh mulia hatimu Pangeran Aryoprabu, jagad seisinya menjadi saksi. Paduka adalah panglima perang sakti mandraguna yang sangat murah hati."
     Seketika segera Dewi maherah merendamkan badan dengan seluruh busananya di air bengawan. Bagaikan bunga kekeringan di musim kemarau yang mendapatkan siraman air hujan, Dewi Maherah yang selama perjalanan terlihat sayu diliputi suasana duka nestapa kehilangan ayahanda dan seluruh keluarganya, saat ini seolah kesegaran dan keceriaan pulih kembali.
     Ketika malam tiba, pasukan diistirahatkan. Para prajurit membuat pakuwon berupa tenda untuk sekedar melindungi diri dari dinginnya tiupan angin dan tetesan embun malam. nmun kenyataannya sebagian besar prejurit lebih senang di luar tenda mengelilingi api unggun sambil membuat acara suka-suka. ada yang menyanyi sambil menari menirukan gerakan penari wanita yang membuat semua yang menyaksikan tertawa gembira, bahkan terpingkal-pingkal ketika ada yang membuat lelucon. Dewi Maherah yang ikut menyaksikan dari balik renda tirai jempana titihannya ikut tertawa ceria. Seketika  Aryoprabu Rukma menyadari betapa manis dan menggairahkannya  wajah cantik ceria Dewi Maherah. Terbayangkan peristiwa ketika sore tadi keluar dari dalam air bengawan dengan seluruh pakaiannya yang  basah yang lekat melilitketatseluruh lekuk tubuhnya yang matang sempurna. Dengan wajah semburat memerah melempar pandang disertai senyum ketika sadar ada sepasang mata yang menatap kagum terpesona pada penampilan dirinya. Dengan langkahnya yang anggun menawan ia masuk ke dalam jempana untuk mengganti pakaiannya yang basah.
     Semalam suntuk Aryoprabu Rukma  tak bisa tidur barang sekejap. Pandangan matanya seakan tak lepas dari tenda keemasan tempat Dewi Maherah bermalam. Demikian juga kegelisahan yang mengganggu dirinya, Dewi Maherah jangankan tertidur. Untuk sejenak menghilangkan bayangan Aryoprabu Rukma pun tak snggup. Semalam suntuk ia mengintip dari balik tirai,  kalau-kalau Aryoprabu keluar dari tendanya yang memang dibangun paling dekat dengan tenda dan jempana titihannya. Sementara Aryoprabu Rukma yang menyandarkan punggungnya di atas bantalan kayu tak lepas pandangan matanya dari tenda tempat Dewi Maherah bermalam. Dalam hatinya berharap semoga saja tiba-tiba Dewi Maherah keluar dan memerlukan sesuatu darinya.
     Esok paginya perjalanan dilanjutkan. Dengan harapan sebelum tengah malam para wadya bala tentara ini sudah memasuki alun-alun kota untuk diterima Maharaja pada pasewakan Agung keesokan harinya. 
     Senja itu seperti senja hari ini. Perjalanan menapaki jalan pedesaan yang sama. Hanya ketika itu arah perjalanannya menuju ibu kota kerajaan, sedangkan kini ia meninggalkan kerajaan menuju Padukuhan Widorokandang. Suasana juga berbeda. Saat ini ia mengemban tugas negara dengan laku sandi sesingidan, sementara ketika itu perjalanannya berbunga-bunga penuh keceriaan. Ceria karena akan disambut dan dielu-elukan dengan gegap-gempita sepanjang perjalanan menuju alun-alun kota. Ceria karena tabir labirin kemesraan telah sedikit tersingkap. Dewi Maherah sepanjang perjalanan itu memberi sambutan hangat setiap tatapan matanya. Bahkan ketika membantu turun dari jempana sewaktu hendak istirahat, Aryoprabu Rukma merasakan getaran asmara yang membuncah menggelegak merambat melalui sentuhan jemari lembutnya yang tergenggam erat. Sorot matanya yang polos bening berkilat, memancarkan cahaya aneh yang menembus relung hati Pangeran Aryoprabu.
     Selanjutnya sisa perjalanannya terasa sangat singkat. Sepanjang perjalanan seolah bertaburkan bunga-bunga mekar semerbak wangi,  menyambut manembromo kedatangan sepasang insan yang sedang memadu kasih asmara.  Semilirnya angin, harumnya aroma rumput  pegunungan, dendang paduan suara jengkerik dan kodok di sawah, bagai simponi yang disajikan alam raya mengiringi perjalanan dua sejoli yang sedang kayungyun gandrung kapirangu tertancap panahnya Batara Asmara. Bulan sabit dan bintang sore seakan menyampaikan salam mangayu-bagya pasangan yang serasi ini. Bahkan seluruh laskar prajurit seakan memahami dan sangat mendukung suasana batin panglima perangnya yang sedang dibuai asyik-masyuk. Terhanyut oleh lamunan akan kenangan yang telah silam.  Baru ketika kokok ayam jantan terdengar bersahutan,  menggugah kesadaran Aryoprabu di kala menjelang gagad rahino. 
     Semilir Angin pagi membelai tubuhnya, tak terasa perjalanan rupanya sudah mendekati keramaian pasar Widorokandang.    



4

Kademangan Widoro Kandang

......... kalau perintah itu masih dalam batas-batas kewajaran demi keutamaan manusia,  masih bisa diterima. 
Tetapi sekali perintah itu sudah keluar dari keutamaan dan kesusilaan, 
maka perintah itu kehilangan kewibawaannya. 
Dan setiap orang yang mau dan mampu wajib meluruskannya dengan segala kekuatanya..........

     
     Sebagaiman biasa setiap menjelang matahari sepenggalah, Ki Demang kembali dari berjalan-jalan mengelilingi Kademangan, menikmati segarnya udara pegunungan di pagi hari.Semua kawula Kademangan Widorokandang sudah sangat mengenal kebiasaan Ki Demang yang sudah dua puluh tahunan lebih bermukim di tanah perdikan ini . Para kawula padukuhan Widorokandang dan sekitarnya sudah menganggapnya sebagai tetua mereka. Mereka memandang Ki Demang sebagai mantan abdi dalem kerajaan yang sedang menikmati hari tuannya, sebagai abdidalem Kraton mandura yang bertanggungjawab  atas perawatan dan pelatihan kuda-kuda milik kerajaan yang menjadi keahliannya. Kini di hari tuannya sudah banyak para anak asuhannya yang lebih muda gagah berani terampil melatih kuda-kuda para prajurit, ksatria dan panglima kerajaan Mandura. Sehingga Ki Demang tinggal mengawasi dari kejauhan sambil sesekali memberi contoh dan teladan bagi para penerusnya. Ketika hal itu terjadi, maka seluruh anak asuhannya begitu kagum menyaksikan betapa pepundennya, walau dalam penampilannya nampak sudah renta dan rapuh, namun ketika jari lentiknya dijentikkan, maka seekor kuda yang dia panggil serentak menghampiri. Dan huuppp.....  sekali hentak Ki Demang dengan gesitnya telah berada di atas punggung kuda, meski tanpa pelana dan tanpa sanggurdi. Gerakannya gesit bagaikan perwira muda prajurit pilihan. Tangan kanan dan kirinya memperagakan bagaimana seorang prajurit bersenjatakan pedang dan tameng atau tombak bahkan sesekali menggunakan busur dan anak panah. Sementara kuda hanya dikendalikan oleh kedua kakinya yang telanjang, tanpa sanggurdi. Kuda ditegar mengelilingi alun-alun Kademangan dan ... creb... crebb ....  des... lembing. panah dan pedang tepat mengenai sasaran. Sedangkan Ki Demang dengan gesitnya melompat dari punggung kuda dengan gerakan bagai melayang, kaki menyentuh tanah tanpa sebutir debupun mengepul.
     Kuda bertegar keliling alun-alun dan kembali ke hadapan Ki Demang, sambil meringkik mengangkat kedua kaki depannya ke udara seakan memberi penghormatan dan salam kepada pelatihnya. Disambut decak kagum dari para anak asuhannya Ki Demang menepuk-nepuk leher dan punggung kuda sambil meninggalkan mereka untuk melanjutkan latihan.
     Walau mereka rata-rata sudah menguasai ilmu yang diliki pepundennya itu, namun dalam penampilan belum sehalus dan seanggun penampilan Ki Demang yang memang sudah sangat mahir dan banyak makan asam garamnya melatih kuda-kuda perang kerajaan. Sambil memberi isyarat agar anak asuhannya merapatkan pintu gerbang utama, Ki Demang kembali dengan langkah rentanya menghampiri Nyi Demang yang sudah menanti di pendopo.
     Diselingi kokok ayam bekisar dalam kurungan di bawah pohon sawo kecik di sebelah lumbung padi, Ki Demang didampingi Nyi Demang lesehan di emperan pendopo menikmati wedang ronde serta rebusan pisang kepok dan kimpul gembili. Sesekali Ki Demang mengamati gerakan anak-anaknya yang sedang mengikuti gladi pencak silat di halaman samping pendopo Kademangan.
     Nyi Sagopi yang memperhatikan gerak-gerik Ki Demang sejak tengah malam tadi menangkap sesuatu dari sikap Ki Demang yang gelisah hingga pagi hari ini. Ada sesuatu yang agak aneh. Selera makannya tidak sebagaimana biasa, walau yang dihidangkan adalah masakan kegemaran Ki Demang.
     Sambil mendampingi Ki Demang, Nyi Sagopi minum wedang ronde gula aren. mencoba  mencuri pandang melirik sang suami yang nampak ada mendung bergelayut di wajahnya. Ujar Nyi Demang: "Ki demang, sejak tadi pagi, bahkan dari semalam saya perhatikan Ki Demang tidak bicara sepatah katapun. Hanya diam kadang seperti merenung atau memikirkan sesuatu yang sangat ruwet. Kiai, saya melihat ada sesuatu yang tidak berkenan di pasuryan Ki Demang. Barang kali ada sesuatu. Mungkin ada yang salah dalam pelayanan saya atau cara saya mengasuh putra-putrimu, saya mohon ampunan Kiai. Dan sekiranya demikian halnya, alangkah baiknya bila Kiai tidak usah memendamnya di dalam hati. Mohon kiranya sudi menjelaskan saja, tegur dan tunjukkan kesalahan saya atau putra-putrimu. Tidak baik akibatnya buat kesehatan Kiai,  kalau sedikit-sedikit ada masalah dipendam dalam hati."
     "Ehm... Tidak Nyai."  Ujar Ki Demang sambil mencoba tersenyum. "Saya tidak sedang memikirkan kesalahan atau kekurangan Nyai. Bahkan kalau saya boleh jujur Nyai, seisi jagat raya ini belum pernah saya lihat atau bahkan saya berani bersaksi tidak akan ada seorang istri semulia Nyai."
     Memerah rona wajah Nyi Sagopi demi mendengar pujian dari sang suami. Jarang sekali Ki Demang memuji isterinya secara terbuka. Ujarnya: "Tapi Kiai sepertinya menyembunyikan sesuatu dari kami. Ada apa sebenarnya Kiai ?"
     Kembali menghirup minumannya Ki Demang menghela nafas dalam-dalam. Sambil merendahkan suaranya Ki Demang berujar: "Begini Nyai, akhir-akhir ini entah dihantui oleh perasaan sendiri atau memang kekhawatiran saya yang berlebihan, Semakin tua umur ini semakin lambat gerakan saya, semakin tumbuh menjadi remaja anak-anak kita, sering saya rasakan  ada hal-hal aneh yang terjadi di sekitar kita. 
     Secara tidak sengaja saya sering memergoki seperti orang asing, bukan pawongan Widorokandang. Lewat dan seolah mencuri-curi pandang ke dalam Kademangan. Bahkan kemarin, ada seseorang yang menanyakan kepada anak-anak bagaimana caranya kalau ingin ikut belajar merawat kuda. Tetapi setelah saya dekati malah bergegas pamit. Anak-anak yang saya tanya, semua mengaku tidak ada yang mengenal, dan belum pernah melihat orang itu sebelumnya. Dari gaya dan tutur bahasanya pantasnya dia orang seberang. Kata anak-anak  lagak-lagunya mirip orang-orang Sengkapura. Akhir-akhir ini makin banyak orang ngamen, orang minta-minta yang sering menggelandang di bawah pohon kedondong di depan gerbang Kademangan itu. Saya merasakan ada yang mengamat-amati Kademangan Nyai.  Makanya hati-hatilah, Tingkatkan kewaspadaan dan yang paling utama jaga baik-baik momonganmu."
     "Aduh Kiai, pepundennya orang Widorokandang." Nyai Sagopi menyahut. "Kiai seperti baru sadar bahwa hidup kita ini senantiasa dalam pengawasan. Tugtas kita memang selalu diamati dan diawasi oleh para telik sandi. Wajar dan sudah semestinya hal itu terjadi. Kuda-kuda milik kerajaan itu adalah harta yang sangat mahal. Apa lagi kuda perang milik para senopati dan pangeran bahkan kuda kelangenan Sang Maharaja Prabu Basudewa sendiri berada dalam asuhan Kiai. Ini tentu menjadi pusat perhatian. Salah satu kekuatan perang kerajaan ada di sini, di Kademangan ini. Mungkin karena Kiai kelelahan atau kurang istirahat saja, Kiai mulai memikirkan yang bukan-bukan."
     "Yaaa... Mungkin ada benarnya juga Nyai. Tapi perasaan saya beberapa hari ini sepertinya ada yang kurang beres. Coba anak-anakmu pada ke mana ? Yang laki-laki tidak pernah di rumah. Yang perempuan sudah mulai susah diatur. Pada hal apa yang mereka lakukan itu membuka dan memancing keingin-tahuan para telik sandi. Kalau hal ini sampai tercium oleh orang-orangnya si Warakangsa, bubar semuanya Nyai. Apa yang selama ini kita pertahankan agar tetap menjadi rahasia kita, rahasia negara, akhirnya akan menjadi incaran para ambeg culika." Kata Ki Demang setengah mengeluh.
     " Habis bagaimana lagi Kiai." Ujar Nyi Sagopi berusaha menghibur suaminya: "Tidak kurang-kurang usaha kita. Juga sikap Kiai dalam mengasuh, membesarkan dan mendidik mereka hingga sekarang setelah menginjak dewasa. Mohon diingat Kiai. Putra-putrimu itu sudah belasan tahun Si Kakrasana itu sudah sembilan belas tahun. Mereka berlima memiliki kecerdasan luar biasa. jauh di atas rata-rata pemuda seusianya. Mereka terlatih lelaku tarak-brata, apati geni. Bahkan putramu Kakrasana itu sebelum tujuh belas tahun,  disekitar pertapaan bukit Gandamadana sudah dikenal dengan gelarnya Wasi Jaladara. Gelar Wasi menunjukkan penghormatan orang kepada brahmana ulung pertapa muda usia. Sedangkan Jaladara artinya mega atau awan. Wasi Jaladara, yang karena kegemarannya bercocok-tanam dan bertani, maka ia sangat cakap memperhitungkan akan datangnya mega mendung dan  turunnya hujan. Hal ini akhirnya mereka percaya, Wasi Jaladara pandai mengendalikan awan dan hujan.
     Putra-putrimu sudah sangat terampil. Bahkan si Narayana  dan Hudawa itu ahli ulah kaprajuritan. Mereka menguasai berbagai kesaktian yang sangat jarang dimiliki oleh pemuda seusianya. Seharusnya Kiai bangga dengan hasil asuhanmu Kiai. Mereka sudah  mampu melindungi dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Kalau hanya menghadapi dua puluh lima bahkan lima puluh orang biasa seusianya, saya tidak mengkhawatirkan putra-putrimu Kiai. Mungkin Kiai masih terkesan ketika putra-putrimu masih kanak-kanak, yang harus selalu ditetah, dilindungi dengan penuh kekhawatiran. Begitulah memang pandangan orang tua Kiai. Selalu menganggap putra-putrinya seperti masih kanak-kanak yang harus senantiasa dibimbing dan dilindungi."
     Bagai tersadarkan, Ki Demang menyahut pelahan: "Sungguh bijaksana kata-katamu Nyai. Seolah disadarkan dari bayang-bayang mimpi saya. Saya masih terkesan betapa anak-anakmu remuwet rewel belajar merangkak, jatuh-bangun tertatih-tatih dengan tangisan manjanya. Ehmm... itu sepert baru kemarin sore kejadiannya. Ternyata itu sudah berlangsung puluhan bahkan belasan tahun silam ya Nyai." Ujar Ki Demang nampak mulai cerah wajahnya. Namun setelah hening sejenak Ki Demang melanjutkan: " Tapi Nyai, aku sungguh sangat terganggu dengan impianku semalam."
     Tersentak Nyai Sagopi. Karena sebenarnya ia juga ingin mengatakan kepada Ki Demang tentang mimpinya yang sangat mengganggu pikirannya sejak bangun pagi hari tadi.
    "Memangnya Kiai mimpi apa semalam ?" Yanya Nyai Sagopi.
    "Ya, mungkin benar kata orang, mimpi itu sekedar kembangnya orang tidur. Jadi barangkali ini hanya mimpinya orang kebanyakan tidur saja." Kata Ki Demang mencoba menenangkan Nyi Demang yang mendesak ingin tahu. 
    "Kan Kiai pernah mengatakan, mimpi itu dibedakan menjadi tiga macam." Lanjut Nyi Sagopi. "Pertama Titiyoni, yaitu mimpinya orang yang kebanyakan tidur. Biasanya terjadi ketika masih sore sebelum tengah malam. Tidak jelas jalan ceritanya ngambyang-ambyang tidak keruan. Kedua Gondoyoni, yaitu mimpinya orang yang terbawa oleh kesan atau angan-angan yang sangat mendalam mengenai sesuatu sehingga terbawa ke dalam mimpi ketika tidur. Mimpi ini bisa terjadi kapan saja sepanjang malam. Sedang yang ketiga Puspatajem. Yaitu mimpinya orang yang mendapatkan petunjuk atau tanda-tanda dari Yang Maha Kuasa. Ini biasanya terjadi ketika terbangun  pada sepertiga akhir malam atau menjelang gagat rahino. Mimpi ini biasanya memberi gambaran atau petunjuk bahwa akan terjadi sesuatu dalam kehidupannya. Dan petunjuk ini biasanya hanya diberikan kepada yang benar-benar dikehendaki oleh Yang Maha Mengetahui. Kalau saya perhatikan dari kemarin, Kiai nampak selalu merenung dan  gelisah sepanjang malam. Saya tidak melihat kiai tidur nyenyak. Jadi tidak mungkin Kiai bermimpi seperti mimpinya orang kebanyakan tidur.
     Mengangguk-angguk pelahan Ki Demang. Setelah meneguk minumannya, sambil sejenak menyapukan pandangan  ke sekeliling pendopo, berkata lirih Ki Demang: " Begini Nyai, kita ini sudah lama sekali tidak punya kesempatan kembulan. Dahar bersama-sama putra-putrimu. Coba sudah bertahun-tahun, kapan kita sempat kembul bujana bersama. Rasa-rasanya sudah menjadi sesuatu yang sangat sulit bisa dibayangkan bisa terlaksana. Tetapi tadi malam menjelang gagat rahino, saya terbangun dari mimpi. Mimpi yang sangat gamblang cetho welo-welo. Aku bersama Nyai dan kelima putra-putrimu semua berkiumpul lesehan di pendopo ini, dahar bareng kembulan. Si Bule Kakrasana itu makannya adu lahap sama si Hudawa. Yang biasanya susah makannya si Raraireng juga makan ngecapah lahap sakali. Dalam impian, " Lanjut Ki Demang, "Tiba-tiba muncul sosok ksatria rupawan, yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Tidak tahu dari mana kedatangannya, tiba-tiba saja sudah berada di Pendopo. Tertegun menyaksikan kita yang  sedang kembulan. Ketika saya tawarkan untuk ikut dahar bersama, ia hanya mengangguk tersenyum. Dalam hati saya mengatakan, ini orang seperti mendiang Prabu Pandu Dewanata, Maharaja termasyur dari negeri Astinapura yang gemar berkeliling negeri menyambangi para kawula untuk menyaksikan sendiri, melihat langsung keadaan dan kesejahteraan para kawula di pelosok-pelosok. Saya membayangkan sedang kedatangan tamu agung. Tetapi herannya, kita semua tetap saja melanjutkan  santap bersama. Sampai akhirnya terbangun oleh kukuruyuk bekisarnya si Hudawa menjelang gagat rahino. Impian itu yang terus membayangi pikiran saya sampai saat ini Nyai. Jangan-jangan impen saya ini kadorodasih. Kalau benar, perasaan saya mengatakan bakal terjadi lelakon besar di negeri ini yang berawal dari Widorokandang Nyai."
     "Aduh Ki Demang, pepundennya orang  sekademangan Widorokandang. Tepat sekali, kadorodasih. Impian Ki Demang sama. Jebles ewel-ewel, pleg seperti impian saya. Kejadian dan waktunya bisa bertepatan sama dengan impian Ki Demang. Barangkali ini memang sasmita, wangsit dari Dewata Agung, untuk memberi tahu  kepada kita berdua,  bahwa akan terjadi sesuatu dalam kehidupan kita." Ujar Nyi Sagopi sambil memandang tajam ke arah pintu gerbang. Nampak olehnya seorang penjaga pintu membuka gerbang utama, mempersilakan seorang penunggang kuda memasuki pelataran Kademangan. Penjaga pintu gerbang ini adalah mantan abdi dalem kerajaan dan memang prajurit pilihan yang sudah sangat dipercaya dan sudah banyak makan asam garamnya keprajuritan. Nampak dalam sikapnya sangat hormat kepada penungang kuda yang baru datang.
     Nyi Sagopi memberi sasmita kepada Ki Demang yang segera bangkit dari tempat duduknya menyambut kedatangan tamu yang masih berada di atas punggung kudanya.
     "We lha dalah. Sasat kerawuhn Batara Indra,  Sinuwun kami menghaturkan sugeng rawuh  serta sembah bekti kami sekeluarga konjuk di hadapan duli paduka Pangeran Aryoprabu." Sembah Ki Demang.
     "Ya, ya. Ki Demang perjalanan saya dari Istana sampai di Kademangan Widorokandang selamat tidak ada suatu apa. Terima kasih, sembah bektimu sekeluarga sebagai tanda kesetiaanmu terhadap Istana Mandura saya terima. Sebaliknya terimalah puja pangastawa saya mewakili Maharaja dan seluruh kedaton buat Ki Demang sagotrah. Bagaimana Pawartanya Ki Demang sekeluarga dan seluruh kawula Widorokandang."  Kata Pangeran Aryoprabu Rukma masih tetap di atas kuda sambil berjalan pelahan mendekati pendopo.
     "Berkat restu paduka Pangeran. Semua seisi Kademangan dalam keadaan sehat-segar tidak kurang suatu apa. Mereka semua melakukan kewajibannya dengan tekun, sehingga kuda-kuda kerajaan sewaktu-waktu Paduka berkenan menggunakannya sudah siap tidak akan mengecewakan." Sembah Ki Demang.
     "Ya Ki Demang, sebelum saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, sudah sangat santer dan ramai menjadi perbincangan para prajurit dan kawula wadya. Betapa kehandalan kuda-kuda kerajaan hsil pelatihan dari Kademangan Widorokandang."
    Pengeran Aryoprabu sejenak menyapu pandangannya ke sekeliling pendopo Kademangan, kemudian turun dari pelana. Tanggap seorang abdi dalem juru gamel segera mendekat hendak merawat kuda tunggangan Sang Pangeran. Namun dengan lambaian tangannya Pangeran Aryoprabu menolak. Ujarnya: "Beri saja dia minum, dan lepaskan saja di bawah pohon sawo kecik itu. Biar istirahat saja sebentar."
     Ki Demang memahami makna ucapan Sang Pangeran, memandang penuh arti kepada juru gamel untuk segera melaksanakan titah Tamu Agung itu. Naluri Ki Demang menangkap suatu isyarat bahwa Aryoprabu sedang mengemban tugas kerajaan yang sangat penting.Tidak akan berlama-lama serta dalam siaga penuh. Hal ini terbaca dari penyamarannya yang begitu sempurna. Kuda tunggangan pilihnya itu juga bukan sembarang kuda. Dia kuda perang pilihan yang pernah ikut menang perang menghancurkan pasukan Sengkapura. kuda ini senganja tidak didandani sehingga sekilas seperti kuda tak terurus dan kotor. etapi di mata Ki Demang, tidaklah asing lagi. Dari urat-urat kaki dan otot perut sert sorot matanya. sudah mudah ditebak ini kuda pemberani. Bahkan kalau harus masuk ke dalam kobaran api, menerjang hujan anak panah bahkan mencebur ke dalam air bah kali bengawan yang sedang banjir bandang, dia sangat pandai berenang.
     Pangeran Aryo dawuh agar kudanya dilepaskan saja di bawah pohon sawo kecik yang hanya lima langkah, kira-kira dua lompatan dari pendopo Kademangan, ini memngisyaratkan kalau terjadi sesuatu ia akan dengan sangat cepat dapat mencapai kuda tunggangannya dan memacu lurus melompati pagar samping pendopo menuju jalan setapak memutar ke arah bengawan Jamuna.
     "Begini Ki Demang. Kedatangan saya ini sesinglon mengemban dawuh titah Paduka Kakanda Maharaja Prabu Basudewa. Untuk menyaksikan langsung keadaan putra-putri Kerajaan yang berada dalam asuhan Ki Demang. Ingsun ingin melihat dengan mata kepala sendiri. Dimana dan seperti apa mereka sekarang ?" Tanya Pangeran Aryo.

     Gugup Ki Demang menjawab: "Ampun Gusti, Putra-putri Paduka saat ini tidak ada yang di rumah. Putra Paduka Pangeran Kakrasana sedang lumban mandi kramas setelah menyelesaikan brata lelaku tapa kungkum tujuh belas hari di bengawan Jamuna. Putra Paduka Pangeran Narayana diikuti Rakyan Hudawa sedang rajin bersamadi maneges di pertapaan Gandamadana. Menurut hitungan saya esok sore atau malam hari baru keduanya pulang ke Kademangan. Sementara putri Paduka berdua Rara Bratajaya dan Niken Rarasati sedang mengajar anak-anak Kademangan belajar beksan di halaman belakang." Diam sejenak Ki Demang berusaha membaca perubahan roman wajah Sang Pangeran yang ternyata sangat tenang, berwajah dingin. Hanya sesekali mengangguk.
     "Berkat restu Paduka dan kecerdasan Putra-Putri Kerajaan ini Kademangan menjadi makmur. Bangunan sarana pertanian, saluran air untuk mengairi sawah dan perkebunan serta kerapian jalan-jalan pedesaan menjadi contoh dan teladan desa-desa sekitar sini. Peternakan sapi kerbau dan hewan piaraan lain malahan menjadi kiblat para pedagang dan peternak. Kemakmuran dan kebugaran para pemuda yang tiap hari ikut gladen beksan serta seni bela diri utamanya pencak silat dan kanuragan, sudah menjadi kehidupan mereka sehari-hari. Sehingga pemuda-pemudi Widorokandang sangat dikenal dan disegani." Ujar Ki Demang memamerkan keberhasilannya.
       "Sungguh besar jasa baktimukepada para kawula dan Kerajaan Mandura Ki Demang. Namun, seyogyanya Ki Demang juga memahami, kemajuan dan kemakmuran Widorokandang yang menonjolini juga menarik perhatian dan mengundang keingin-tahuan Adipati Anom Wrarakangsa. Saat ini Warakangsa sudah mengincar Widorokandang. Titah Kakanda Prabu sangat tegas. Amankan dan singkirkan segera putra-putri kerajaan dari Widorokandang. Jangan sampai kalah cepat dengan Warakangsa. Kalau tidak, keselamatan Kerajaan taruhannya. Ingsun ingin melihat sendiri seperti apa sosok putraku Pangeran Kakrasana. Jangan ragu Ki Demang mendekatlah ke sini, Ingsun ingin menyampaikan kekecewaannya Sinuhun Kakanda Maharaja Prabu Basudewa."
     Secepat kilat disambarnya tangan Ki Demang yang tidak menyangka akan menerima serangan yang begitu mendadak. Sekejap lengah, ketika tangannya dikibaskan ia terpelanting ke udara. Serentak sadar, segera mateg ajian peringan tubuh. Bagaikan jatuhnya daun kering, melayang Ki Demang menyentuh tanah seraya membuat gerakan seakan-akan terjerembab dengan terompah dan ikat kepala terlempar ke udara yang menimbulkan kesan kejatuhannya sangat parah. Serentak Ki Demang memekik:: "Aduuhhh... Anakku ngger Kakrasana... , tolong ngger Bapakmu mati. Kakrasana..... tolong........." Pekik Ki Demang melengking ke udara bergetar memecah keheningan seluruh Kademangan.
     Ketika itu si Bule Kakrasana yang baru selesai mandi kramas, berjalan pulang sambil mengibas-ngibaskan rambutnya yang panjang terurai basah. Sambil sesekali menatap ke langit biru melihat awan berarak ditingkah oleh jeritan sepasang burung elang melayang tinggi di atas kepalanya. Bersautan nyanyian elang itu bagaikan mengiringi perjalanannya. Atau mereka sedang mencoba mengabarkan sesuatu.
     Menjelang tiga langkah dari regol belakang Kademangan, terdengar teriakan Ki Demang memecah langit, memanggil namanya minta tolong. Terkesiap Sang Kakrasana, melompat. Dilabraknya jebol, pintu regol terbuka berantakan. Jelas terlihat Ki Demang tertelungkup di bawah kaki seorang lelaki gagah memegang cemeti. Mendidih darah Sang Kakrasana, bagai singa jantan menerkam mangsanya, Kakrasana melompat menyambar Aryoprabu yang telah siaga. Mengetahui kedatangan Kakrasana dari dobrakan pintu regol. Sengaja menunggu dan memperhatikan dengan seksama gerakan Putra Mahkota kerajaan Mandura ini. Maut hampir menyentuhnya ketika tangan Kakrasana yang tinggal setengah hasta lagi menjambret lehernya,  menjejak tanah Aryoprabu melompat ke udara dengan gerakkan luar biasa ringan,. Jatuh selangkah di dekat kudanya yang sudah menanti. Satu lompatan lagi Aryoprabu sudah duduk di punggung kudanya. Serentak kuda ditegar, menjebol pagar samping Kademangan menghilang menyusuri tepi bengawan. Tak urung ujung kampuhnya terjambret dalam genggaman Kakrasana yang bagai harimau lapar hendak menerkam mangsanya  yang melesat kabur.
     Ki Demang yang menyadari kejadian ini, segera melompat merengkuh anaknya dan  merekan amarahnya: "Sabar anakku. Dia bukan musuhmu. Dia sesembahanmu. Ia pembesar Kerajaan."
     Panas telinga Kakrasana mendengar bisikan Ki Demang. Sembari menahan geram ia berkata: "Kiai mengapa menghalangi saya untuk menangkap manusia durjana yang menganiaya Kiai ?"
     Ki Demang tersenyum, ujarnya: "Sabar anakku. Bekiau tidak menyakiti bapakmu. Pangeran itu hanya ingin melihat dengan mata-kepalanya sendiri sikap dan tandangmu. Beliau ingin menyaksikan sendiri kegagahanmu. dan saya percaya Kanjeng Pangeran Adipati itu tadi pasti sangat puas menyaksikan sendiri penampilanmu." Bujuk Ki Demang, menenangkan kemarahan Kakrasana.
    "Kurang ajar. Sombong sekali, durjana pengecut. Beraninya melarikan diri. Coba Bopo Demang tidak menahan saya, sudah saya robek-robek manusia keparat itu." Masih bergetar suara Kakrasana menahan gejolak.

     Segera Ki Demang menarik tangan Kakrasana dan mengajaknya duduk di bale-bale bambu di bawah pohon sawo kecik. Ujarnya: " Begini ngger putraku Kakrasana. Ketahuilah, orang yang kamu kejar itu tadi adalah pembesar kerajaan Mandura. Beliau adalah sentana dalem adik bungsu Sri Maharaja Prabu Basudewa yang bernama Pangeran Aryoprabu Rukma. Beliau adalah pemegang kendali pemerintahan dan juga panglima perang yang sakti mandraguna. Beliau diutus Maharaja untuk menyaksikan sendiri keadaan harta kerajaan yang sudah lama dititipkan di kademangan Widorokandang. Pangeran Aryoprabu mewakili Maharaja ingin menyaksikan sendiri turangga kelangenan para pembesar kerajaan dan kuda perang para senopati dan prajurit kerajaan. Rupanya ada hal-hal yang kurang berkenan bagi Sang Pangeran sehingga Paduka menyampaikan kekecewaan Maharaja kepada si Kaki. Tidak apa-apa ngger. Memang begini tanggung jawab dan pengabdian seorang abdidalem kerajaan. Saya legawa menerima sesiku dari Maharaja. Makin sering menerima amarah Maharaja, berarti kita ini dekat dan mendapat perhatian dari Paduka."
     Tidak sabar mendengar uraian Ki Demang yang panjang lebar, Kakrasana menukas: "Tidak ada urusan saya dengan apa kepentingan orang kerajaan itu. Lagi pula apa urusannya Ki Demang dengan orang-orang yang tidak tahu adat sopan-santun itu. Daksia, dengan semena-mena menganiaya, dengan tanpa kasihan dan hormat kepada orang tua. Apa karena mereka orang kerajaan, lalu mereka bisa dengan seenaknya memperlakukan orang tua saya. Ki Demang Antagopa , orang yang dihormati orang seantero Kademangan Widorokandang. Kurang ajar. Arogan sekali keparat itu. Kiai. Ijinkan saya menghajar mereka. Pasti belum jauh dari Kademangan. Sekali-sekali pembesar kerajaan seperti ini, perlu diberikan pelajaran. Biar mengerti bagaimana menata kerajaan dan mengatur serta memberi keteladanan kepada kawula alit."
     "Begini ngger, Kakrasana. Kalau kamu mau menghajar Pangeran Adipati itu berarti kamu melawan kerajaan, anakku."  Ujar Ki Demang.
     "Apa salahnya melawan kerajaan kalau kerajaan itu juga memang pantas dilawan." Jawab Kakrasana masih dengan nada tinggi.
     "Kerajaan memiliki kekuasaan dan berwenang mengatur dan memaksa seluruh kawula untuk tunduk dan patuh terhadap setiap titah Baginda Maharaja." Ki Demang menjelaskan.
     "Ya. Selama perintah itu masih dalam batas-batas kewajaran demi keutamaan manusia, masih bisa diterima. Tetapi sekali perintah itu sudah keluar dari keutamaan dan kesusilaan, maka perintah itu sudah kehilangan kewibawaannya. Dan setiap orang yang mau dan mampu, wajib meluruskannya dengan segala kekuatan atau kemampuan yang dimilikinya." Sanggah Kakrasana berapi-api. 
    "Betul anakku. Tetapi ketahuilah, Kerajaan Mandura itu memiliki ribuan prajurit handal yang dipimpin oleh para senopati sakti mandraguna. Apalagi Putra Mahkota Kerajaan Prabu Anom Warakangsa. Ia Senopati Putra Maharaja yang masih muda belia, gagah perkasa. Tidak ada yang berani menentang apa yang menjadi kemauannya. Seluruh negeri ini amat sangat takut bahkan untuk sekedar menyebut namanya. " Kata Ki Demang, sambil merendahkan suaranya, seolah takut terdengar orang lain.
     "Wah, kebetulan Kiai" Kakrasana menyahut: "Saya baru selesai mempelajari ilmu kanuragan dan kesaktian. Terakhir saya mendapatkan Ajian Naggala. Kata guru saya, belum ada yang mampu menandingi keampuhannya. Kalau hanya sekedar manusia lumrah saja pasti lebur jadi abu. Sedangkan gunung-gunung bisa jugrug berguguran. Samudra mengering kerontang, tertimpa Ajian Nanggala ini. Oleh sebab itu wanti-wanti tidak boleh digunakan kalau tidak terpaksa sekali. Dan Ajian Nanggala ini hanya boleh digunakan untuk membela kebenaran atau menolong yang teraniaya. Saya kepingin tahu, apa benar Warakangsa itu kuat menahan keampuhan Aji Nanggala." 
     Lega hati Ki Demang, demi mendengar penuturan putranya. Dalam hati ingin sekali mencoba membuktikannya. Sering didengarnya Ajian Nanggala disebut-sebut  dan dibicarakan di dalam parepatan atau sarasehan oleh para empu dan ahli kanuragan. Kini tidak disangka-sangkanya putranya sendiri sudah berhasil menguasainya.
     Sambil menggenggam erat pergelangan tangan putranya, Ki Demang berucap: "Sewu sokur sembahku ke duli Yang Maha Menganugerahi. Ternyata engkau tidak menyi-nyiakan  gelar dan julukanmu sebagai Wasi Jaladara." Lebih merapatkan dirinya Ki Demang melanjutkan: "Ya, ya, ya. Sungguh benar semua kata-katamu ngger. Tetapi coba redakan amarahmu. Endapkan dulu perasaanmu. Heningkan pikiranmu.  Bapamu yang tua renta ini ingin menyampaikan sesuatu yang seumur hidupmu belum pernah kau dengar. Bopo Demang percaya, hal ini akan mengubah sejarah perjalanan hidupmu. Dan tidak akan pernah kau lupakan seumur hidupmu."  Ujar Ki Demang sambil menggenggam erat kedua tangan putranya.
     Bagai tersihir oleh ajian pnggendam, Kakrasana serentak teduh hatinya. Detak jantungnya berangsur tenang, amarahnya mereda. Wajahnya kembali ceria. Direngkuhnya Ki Demang dalam dekapan erathingga detak jantungnya terasa menyatu. Sayup-sayup bagai simponi masa lalu yang hilang-hilang timbul. Irama itu sering bahkan sangat sering mampu meredakan amarahnya ketika rewel. Merajuk gelisah di saat-saat masih kanak-kanak. Ketenangannya di dalam dekapan dan buaian irama yang kini terasa sayup-sayup melemah oleh usia. Dan aroma yang ini juga yang menebar dari tubuh kakek renta ini yang sanggup membius melemahkan seluruh jaringan syaraf-syarafnya hingga tertidur pulas. Kedamaian yang hanya bisa dihayati oleh sepasang ayah dan anak yang sama-sama dipertemukan oleh naluri dan getaran bawah sadarnya, bahwa mereka sama-sama saling mencari dan menemukan kehangatan dan kasih-sayang.
     Tersipu Kakrasana menyadari terlalu lama dalam dekapan Ki Demang. Sebagai anak lelaki dewasa merasa tindakannya sangat cengeng dan kekanak-kanakan. Tetapi itulah kenyataannya bahwa sesungguhnya dia sangat bakti dan sayang kepada kedua orang tua dan sekaligus gurunya itu. Walau kadangkala nampak ketidak peduliannya terhadap keduanya. Itu semata hanya karena ingin menunjukkan bahwa sekarang sudah sepantasnya dirinya mandiri sebagai lelaki dewasa dan tidak lagi tergantung kepada perlindungan dan bantuan orangtuanya. Dalam hati kecilnya ia ingin memamerkan kepada orang tuannya dan bahkan seluruh dunia bahwa Kakrasana sudah dewasa. Sudah mandiri dan sanggup melindungi dirinya sendiri bahkan melindungi kedua orang tuanya dan seluruh kerabatnya, Merebak airmata di pelupuk matanya.
     Segera Kakrasana kembali menguatkan hatinya untuk bertanya kepada Ki Demang: " Apa sebenarnya yang akan Bopo Demang sampaikan kepada putramu in ?"
     Seperti mendapatkan kekuatan batin, Ki Demang dengan sedikit tertahan mengatakan: "Anakku ngger Kakrasana. Seberapa besar kesalahan bapakmu mohon kiranya engkau mau mengampuninya. Tidak ada orang tua yang berharap anaknya menderita, apa lagi sengsara akibat oleh perbuatan orangtuanya." 
      Dipandangnya tajam kearah sepasang bola mata Kakrasana yang bening polos. Seakan ingin mengetahui isi lubuk hatinya, Ki Demang melanjutkan: "Orang tua manapun akan sangat menderita dipisahkan dengan putra-putrinya. Tidak ada artinya kebahagiaan, kewibawaan, kemuliaan yang dimilikinya, apabila tidak bisa dinikmati bersama-sama dengan putra-putrinya."
     Semakin bingung Kakrasana demi mendengar uraian Ki Demang. Ia menebak-nebak dalam hatinya. Apa maksud Ki Demang ini. Apa karena ia sering meninggalkannya kesepian sendiri di Kademangan. Apa karena kawatirkalu-kalau akan ditingalkan oleh putra-putrinya sehinga kelihatannya sungguh terasa mendalam sekali kesan-kesan yang hendak disampaikannya. Jangan-jangan ............., Ah, tidak mungkin. Bopo Demang masih sehat dan belum terlalu tua untuk meninggalkan kita. Apa yang diutarakan Ki Demang sagat menyentuh dan sungguh-sungguh tercetus dari hati sanubari seorang ayah dan bahkan pasti semua orang tua memiliki naluri perasaan yang sama seperti yang dirasakan Ki Demang. 
     Makin lekat pandangan Kakrasana menatap Ki Demang seraya bertanya: "Sesungguhnya apa maksud Ki Demang ?"
     "Begini Kakrasana." Jawab Ki Demang sambil menahan gejolak hatinya: "Sesungguhnya kamu bukanlah anak Padukuhan Widorokandang. Kamu bukan anaknya Ki Demang Antagopa yang renta ini."
     Bagai disambar sejuta petir, Kakrasana gelagapan, linglung, pucat-pasi. Melemah detak jantungnya gemetar jemarinya. Menyusut getaran hidupnya. Tidak percya kata-kata itu keluar dari mulut lelaki tua yang selama ini ia dambakan. Tersekat di tenggorokannya terbata-bata ia menanyakan: " Mengapa Bopo tega mengatakan ini ? Lalu siapa saya ini ?"
     "Ketahuilah Kakrasana. Kau sejatinya adalah Putra Mahkota Kerajaan Mandura. Kau Putra Maharaja Prabu Basudewa. Ada maksud dan tujuan penyelamatan trah, keturunan penerus pemegang kekuasaan Kerajaan Mandura dari ancaman musuh istana,. Sehingga kamu dan keempat saudaramu disembunyikan di Widorokandang. Musuh istana itu tak lain dan tak bukan adalah Pangeran Adipati Anom Warakangsa,  yang sebetulnya adalah keturunan musuh negara yang berhasil menyusup dan mengelabuhi seluruh negeri. Dengan kesaktian dan keahlian pamannya Patih Suratrimantra, komplotan ini berhasil menguasai kekuatan dan kendali pemerintahan. Bahkan berhasil menobatkan dirinya menjadi Pangeran Adipati Anom. Sampai saat ini seluruh negari menganggap Warakangsa adalah Putra Mahkota calon pengganti Maharaja Basudewa. 
      Untuk menghindari ancaman kebengisan Warakangsa dan para pendukungnya, maka Maharaja menyembunyikan kalian ke suatu tempat persembunyian yang hanya keluarga inti kerajaan dan para pengawal terpercaya  saja yang mengetahuinya.

      Saya dan ibumu beserta para abdi ini adalah para pengawal kerajaaan terpilih yang ditugaskan menjaga membesarkan dan membimbing kalian hingga kelak mampu melindungi diri kalian masing-masing." Tidak sabar mendengar cerita Ki Demang, Kakrasana menyela bertanya: "Lalu mengapa Ki Demang Baru mengatakannya sekarang ?"
     "Baru sekaranglah saat yang tepat untuk mengungkapkan semua rahasia Kerajaan ini anakku. Dengan kedatangan Gustiku, Pamanmu Pangeran Aryoprabu Rukma tadi, sudah tidak ada lagi gunanya menutup-nutupi persembunyian para putra-putri kerajaan. karena sesungguhnya saat ini Warakangsa susdah mengetahuibahwa penerus kerajaan Mandura ada di Kademangan Widorokandang. Bahkan pesta rakyat besar-besaran yang akan digelar di alun-alun kerajaan Mandura pekan depan ini, sejujurnya hanyalah akal-akalannya si Warakangsa untuk memancing agar para putra-putri kerajaan keluar dari persembunyiannya. Maka bersamaan dengan telah datangnya kesmpatan emas untuk membuktikan kemandirian kalian semua, sudah waktunya kalian menampakkan diri ke Ibukota Kerajaan Mandura. Sekalian mengenal kota besar, ibukota kerajaan dan kota kelahiran kalian. Aku minta kau dan adik-adikmu pergilah ke sana, sambil melihat keadaan kota besar, ibukota kerajaan Mandura yang gemah ripah loh jinawi. Bersamaan dengan terkuaknya tabir singidan para Putra-Putri kerajaan, di sana kau Gustiku Prabu Anom Kakrasana, negara dan para kawula wadya seluruh Negeri mandura menunggu darma baktimu. Hapuslah airmata Ibundamu Prameswari Dewi Rohini yang siang-malam berdoa demi keselamatan dan kembalinya para putr-puri kerajaan." 
     "Bagaimana kalau Maharaja Basudewa tidak mengakui kami adalh putra-putinya?" Kakrasana mencoba meyakinkan.
     Tersenyum Ki Demang Antagopa menjawab: "Kalian tidak pergi dari Widorokandang dilepas begitu saja. Pada saatnya nanti para pengawal yang akan dipimpin sendiri oleh ibumu Nyai Sagopi beserta empat puluh pengawal pilihan lainnya, dengan penyamaran yang sempurna akan selalu berada tidak lebih jauh dari serubuhnya landeyan dari kalian. Mereka pengawal terpercaya dan hanya para pembesar Kerajaan yang mengenalinya. Mereka akan mengantar dan mengawal kalian, hingga kalian selamat diterima Maharaja.  
     "Baiklah kalau begitu. Lalu kapan saat terbaik saya harus berangkat bersama semua saudara-saudaraku. Mereka belum pernah bepergian jauh, apalagi melihat kota besar dan istana kerajaan. Saya tidak bisa membayangkan seperti apa ruwetnya perjalanan ini nanti." Kakrasana bergumam seolah pada dirinya sendiri. 
     "Makin cepat makin baik, anakku. Tidak banyak lagi waktu yang kita miliki. Menurut itung-itungan saya, tidak lama lagi orang-orangnya Warakangsa pasti akan datang ke sini mencari putra-putri kerajaan. Berangkatlah sekarang juga." Desak Ki Demang.
     "Jadi saya harus meninggalkan Bopo Demang sekarang ?" Seperti orang linglung Kakrasana tergagap.
     "Ya. Semua sudah dipersiapkan lama. Saat ini pasti akan tiba dan terjadi. Oleh sebab itu sekarang juga secepatnya susul adikmu Narayana dan abangmu Hudawa. Kemudian bergabunglah bersama ibumu dan kedua adikmu Raraireng dan Rarasati yang akan menyusuri tepi bengawan Jamuna. Saya akan menyusul setelah kalian sampai di ibukota." Sambil melepas dekapan eratnya, Ki Demang memandang tajam seolah memastikan dan memberikan keteguhan kepada putranya.
     Kakrasana mengangguk, berbalik tanpa menoleh-noleh lagi. Berlari ke tepian bengawan Jamuna dan menceburkan diri berenang ke seberang. 
    Dalam dinginnya air bengawan terasa kesejukan dan ketenangan dari semua haru-biru perasaan yang menerpa hati batinnya. Suatu peristiwa luar biasa. Mimpi pun belum pernah. Membayangkan saja tidak. Tiba-tiba saat ini harus segera berangkat meninggalkan kampung halaman yang selama ini menyatu dengan ruh dan jiwanya. Widorokandang yang asri, yang damai, harus ia tinggalkan. 
     Mengambang telentang  Kakrasana mengikuti aliran air bengawan yang bening dan tenang penuh kesejukan dan kedamaian. Bagai diayun riak gelombang, hingga akhirnya tubuhnya tersentuh tepian seberang. Tersadar kini, tiba-tiba mau-tak mau, siap-tidak siap ia harus sudah menjadi Mahaputra Adipati Anom, calon penerus pemegang  tahta Kerajaan Mandura. 
     Bangkit Kakrasana keluar dari tepian dengan basah kuyup, bergegas mendaki jalan setapak menuju pemakaman Gandamadana, persemayaman para raja leluhurnya.
     Sepeninggal Kakrasana. Ki Demang memasuki pendopo memanggil Nyi Demang untuk mempersiapkan keberangkatan perjalanan pengamanan putra-putri kerajaan yang memang sudah lama menjadi rencana rahasia dengan sandi yang hanya diketahui oleh Ki Demang, Nyi Demang dan beberapa orang kepercayaannya.
     Tanggap Nyi Demang yang sejak kedatangan tamu pembesar kerajaan, kemudian percakapan Ki Demang dengan Kakrasana yang diikuti kepergian Kakrasana tanpa pamit. Ini tanda-tanda sudah saatnya pelaksanaan rencana pengawalan terakhir. Yaitu mengawal kembalinya putra-putri kerajaan dari Widorokandang ke istana dalam keadaan bahaya dan sangat rahasia. Karena selain rencana ini, ada juga rencana yang satu lagi, yaitu pengawalan serupa tetapi terbuka tidak dirahasiakan. Hal ini apabila keadaan memungkinkan, sesuai dengan suasana keamanan yang mendukung dan tidak adanya gejala ancaman terhadap keselamatan putra-putri kerajaan.  Keluarga kerajaan ini akan pulang ke istana dalam keadaan  aman dan damai, misalnya. 
     Nyi Demang akan menanyakan kepada Ki Demang, rencana mana yang akan dilaksanakan Karena memang hanya Ki Demang yang menentukan rencana mana yang akan dilaksanakan sesuai penilaian dan keputusannya.
     Mendadak Ki Demang menangkap isyarat dari penjaga gerbang Kademangan, tanda bahaya kedatangan pasukan yang sudh diperkirakan. Sebregada prajurit dari Kadipaten Sengkapura, dengan sikap percaya diri yang berlebihan, yang cenderung adigang, adigung, adiguna. Mereka bersikap sangat arogan dan sengaja membuat siapa saja yang melihat penampilan para prajurit ini akan merasa miris, kekes dan kecil hati. Sehingga warga padusunan di sepanjang jalan menuju Kademangan menyingkir menghindari berpapasan. apa lagi beradu pandang dengan mereka. Salah-salah bisa nyawa melayang tanpa urusan. Sikap ini memang sengaja dikembangkan di kalangan para wadya bala Sengkapura agar tercipta suasana tintrim, kekes, kecil hati dan lemah semangat sebelum mencoba melawan mereka.
     Ki Demang dan para punggawanya sangat paham mengenai cara-cara perang senggara macan seperti ini. Sejenak Ki Demang mendapatkan laporan bahwa yang datang hanya para prajurit biasa yang dipimpin oleh seorang perwira setingkat Tumenggung Manggala Yuda. Sedikit tenang Ki Demang, karena sujujurnya ia khawatir kalau-kalu yang datang memimpin adalah Patih Suratrimantra yang terkenal galak, sakti mandragua dan sangat keji dan bengis. Atau bahkan bisa jadi Adipati Anom Warakangsa sendiri.
     Sambil mendekat, Ki Demang memberi isyarat kepada Nyi Demang, saatnya kini kita melaksakan rencana pengawalan dalam keadaan bahaya dan sangat rahasia. Katanya: "Nyai, saatnya kini kita berbagi tugas. Selamatkan putri-putrimu melalui tepi bengawan. Anak-anak akan mendayungkan sampai ketemu anakmu Si Kakrasana yang lagi menjempuit Narayana dan Hudawa ke Gandamadana. Aku ingin menjamu dan melayani para tamu ini. Kasihan mereka sudah datng jauh-jauh dari Sengkapura sampai ke Widorokandang.
     Cepat tanggap Nyi Sagopi segera menghampiri kedua putrinya yang belam menyadari benar, apa yang sedang mengancam Kademangan. Dengan langkah gesit seorang prajurit pengawal istana, Nyi Sagopi sangat terlatih dan mengenal benar jalur penyelamatan, dalam kedaan bahaya. Melalui regol belakang, ada terobosan jalan tembus menuju gedogan samping lumbung padi. Di sana ada tanaman anggrek dan simbar hutan yang sangat rimbun menempel di pohon kayu lapuk. Sekilas seperti rerimbunan tanaman simbar dan pakis liar, tetapi begitu Nyi Sagopi menghampiri, pepohonan itu menyibak. Nampak tangga kayu menuju dermaga rahasia yang langsung menuju rakit penyelamat di tepi bengawan.
     Sementara di pelataran depan pendopo Kademangan, saat ini sedang bersimaharajalela pasukan dari Sengkapura. Mereka menggasak apa saja yang ada sambil meneriakkan nama-nama Ki Demang, Kakrasana, Narayana dan Bratajaya yang akan diboyong  untuk dijadikan permaisuri Prabu Anom Warakangsa. Dari sepak terjangnya ini, Ki Demang bisa membaca, pasukan senggara macan ini sengaja dikirim untuk membuat kawula Widorokandang miris dan takut. Mereka ada yang sengaja membabatkan pedangnya ke pepohonan di sepanjang jalan, dengan sekali tebas, pepohonan itu pangkas sudah. Tetapi ketika kemudian membabatkan pedang yang sama ke arah lengan atau leher seorang kawannya ternyata tidak mempan. Ada lagi yang memamerkan kekuatannya dengan menendang pohon kelapa yang rimbun sehingga buahnya yang lebat itu rontok berhamburan. Tidak hanya itu. Seorang di ataranya mengambil sebutir kelapa yang paling besar lalu dikeprukkan ke kepala seorang kawannya. Yang tertimpa malah tertawa ngakak, sementara buah kelapa hancur muncrat berhamburan tempurung dan airnya.
     Ki Demang segera memberi sasmita kepada para punggawa Kademngan untuk pura-pura menanyakan maksud kedatangannya dan membuat mereka terpecah perhatiannya sekedar menghambat laju mereka yang sangat bersemangat hendak segera merangsek memasuki pendopo Kademangan. Maksudnya agar para prajurit Sengkapura ini lebih banyak  tergoda oleh tingkah para punggawa Kademangan yang memamerkan ayam jantan aduan, burung kicauan yang luar biasa gandang. Bahkan ada yang menawarkan kuda jantan gagah yang disebutnya kuda titihan kerajaan. 
     Hal ini memberi sedikit kelonggaran kepada Nyi Sagopi untuk membawa lari kedua putrinya lolos melalui pintu regol belakang yang sengaja disiapkan untuk keadaan darurat. Pintu rahasia ini hanya  bisa dibuka oleh pengawal khusus yang mengetahui cara membuka dan menutupnya kembali sehingga tersamar oleh dedaunan yang rimbun. Lorong rahasia ini menghubungkannya ke tangga kayu besi yang mengapung menuju ke sebuah rakit penyelamatan. Nampak di permukaan air sebuah rakit bambu sederhana yang tertutup muatan rumput pakan ternak dan kayu bakar. Di balik timbunan muatan itu ada ruang rahasia yang masuk ke dalam, ke bawah permukaan air. Ruangan ini dibuat cukup untuk berdesakan enam orang, Kedap air dan sangat kuat terbuat dari kayu besi ditutup dengan dua lapis kulit kerbau yang sangat halus, tebal dan kedap air.
     Seorang pengawal yang menyamar sebagai tukang rumput segera menyiapkan rakit Memasukkan Nyi Sagopi dan kedua putrinya lalu menutupnya dengan penyamaran. Sehingga terlihat seperti rakit bambu yang mengambang membawa rerumputan dan kayu bakar. Si pencari rumput dan kayu bakar ini segera mendorongnya ke aliran bengawan Jamuna, sambil mendendangkan sebait kidung. Seperti tak sengaja mendapatkan sautan dari seberang sungai. Rupanya itu suatu sandi rahasia, bahwa tugas berat pengawalan putri kerajaan melalui aliran bengawan dimulai.

          

5

Gara-Gara

........... .angkasa terdengar suara angin menggemuruh diselingi halilintar bersahut-sahutan. 
Puting beliung yang meniup pepohonan hingga merunduk menimbulkan suara derak-derak menderu 
bersahutan dengan suara pohon tumbang dan dahan-dahan kayu yang terban, tak sanggup
menahan beratnya terpaan angin bercampur derasnya hujan lebat  ..........
 

     Matahari di siang tering yang semula memancarkan panas seakan membakar seluruh permukaan bumi, mendadak redup. Langit yang biru cerah tiba-tibagelap tertutup wan kelam menggelayut bergulung-gulungberarak-arak ngendanu hitam pekat. Sesekali menyembul dari balik gulungan mendung seercah sinar jingga kemerahan dan sekejap menghilang di kaki langit. Silih berganti dengan kilat guntur yang yang meledak menyambar-nyambar. Air bengawan yang mengalir tenang , semakin bergolak membuih, dengan arus yang tiba-tiba menggelegak deras. Air yang semula jernih mengalir bening, makin lama makin pekat membawa hanyut guguran daun-daun dan sarah sampah dari tepian bengawan, Ini menandakan di hulu sudah terjadi hujan lebat. Dan banjir bandang akan segera melanda sekitar bengawan. Binatang-binatang kecil di tepi bengawan seperti: burung belibis, katak, ular ,jengkerik dan serangga lainnya berlompatanmengungsi menjauhi tepian air. mereka lebih peka menangkap tanda-tanda gejolak alam.
     Angin mulai bertiup menghamburkan tebaran daun-daun dan ranting kering. Butiran-butiran air hujan mulai bertaburan. Di angkasa terdengar suara angin gemuruh menderu-deru di selingi halilintar bersahut-sahutan. Puting beliung yang meniup pepohonan meliuk-liuk merunduk menimbulkan gesekan berderak-derak menderu bersahutan dengan suara pohon tumbang dan dahan-dahan kayu yang terban tak sanggup menahan terpaan air hujan lebat didera angin ribut.
     Gelap bagaikan malam berselimut kabut di tengah hutan Dandaka. Para penghuni hutan  lari tunggang-langgang mencari perlindungan. Gemuruhnya hujan lebat yang menimpa dedaunan serta derak-derak gesekan dahan dan pohon yang tertiup prahara, diselingi kilatan api sambaran petir membuat seisi hutan mengkerut, ciut. Merasa sangat kecil dan miris menyaksikan gara-gara. Amarahnya alam raya yang mengamuk tak sudi lagi menyaksikan keangkara-murkaan yang makin meraja-lela terbentang di muka bumi.
     Hutan pun seakan menatap ke langit kelam. Memohon kepada Sang Penguasa Alam, semoga segera menghentikan prahara, gara-gara yang semakin dahsyat memporak-porandakan seisi jagat raya.
     Angin mereda, guntur yang bersahutan menghilang, hujan tingal rintik-rintik gerimis tipis. Langit mulai memancarkan cahaya kebiruan cerah ceria. Matahari sekan malu-malu mengintip di balik awan tipis sepenggalah di ufuk barat. Terpampangkan pelangi yang  melengkung anggun di atas cakrawala. Burung-burung mulai berkicau beterbangan mandi sisa-sisa genangan air hujan. Katak berlompatan menyanyikan paduan suara menyambut matahari. Serentak kuntum bunga-bunga bermekaran menebarkan semerbak harum mewangi, mengundang lebah, kumbang dan kupu-kupu indah nan warna-warni.
Dari balik kerimbunan daun dan sulur-sulur akar gantung pohon beringin putih yng rindang, bermunculan para punakawan pengasuh ksatria piningit. Sang ksatria masih terdiam asyik-masyuk memuja samadi di bawah pohon mandira.
     Sang ksatria yang sedang kepati Samadi itu tak lain adalah Raden Pamadi, atau Arjuna Panengah Pandawa, putra ketiga Mendiang Prabu Pandu Dewanata dari Ibunda Permaesuri Dewi Kunti Talibranta. Sedang keempat punakawan itu adalah, Kiai Semar atau Nayantaka dengan ketiga anak-anaknya, Nala Gareng, Petruk dan Bagong. Keempat punakawan itu ditakdirkan menjadi pamong atau pengasuh dan pengiring ksatria pilihan yang senantiasa mendarma-baktikan segenap kemampuan dan kesaktiannya bahkan seluruh hidupnya  demi ketenteraman dan kelestarian alam raya. 
     Menyadari, momongannya Sang Pamadi masih asyik bersamadi, keempat punakawan itu keluar dari perlindungan dengan bercanda riang-ria sambil menjemur beberapa pakaiannya yang terkena air hujan ketika terjadi gara-gara tadi.
     Sedang rame-ramenya berkelakar, tiba-tiba terdengar sayup-sayup jeritan suara wanita minta tolong. Yang pertama mendengar adalah punakawan Petruk atau Ki Kantongbolong anak kedua Ki Semar yang kebetulan memiliki tubuh paling jangkung nyeletuk: "Romo Semar, saya kok mendengar sayup-sayup suara perempuan minta tolong, dari arah tepi bengawan."
     Gareng yang dari tadi sebenarnya juga sudah mendengar menimpali: "Hati-hati Truk. Ini di kawasan hutan angker. Jangan salah-salah ngomong. Saya juga sudah mendengar dari tadi, tapi saya batin saja. Menurut pengalaman saya biasanya itu suara neneknya." Setengah berbisik nada suara Gareng menyiratkan nada ketakutan.
     "Neneknya siapa Kang Gareng." Suara Petruk sengaja dikeraskan sehingga semua terkejut, terutama Gareng.
     "Hus. Jangan keras-keras." Sergah Gareng menasihati: "Neneknya bisa marah, beliau kurang berkenan kalau ada yang dengan sembarangan tanpa sopan-santun menyebut-nyebut namanya."
     "Lho, memamg kita punya nenek yang tinggal di pinggir kali di hutan sini ?" Tanya Petruk kembali berpura-pura tidak mengerti yang dimaksud si Nala Gareng.
    "Neneknya itu maksudnya nenek yang berbadan halus. Wuahh ... telmi juga ini kakanda Kantong Bolong." Tukas Bagong yang dari tadi diam terkantuk-kantuk, ikut nimbrung.  
     "Oo, itu maksudnya. Jadi yang minta tolong itu perempuan yang badannya halus mulus begitu kang Gareng ?" Tanya Petruk lagi.
     "Weleh-weleh, kok makin nggledreh ngembreh-embreh begini deh. Yang dimaksud Neneknya itu ya sebangsanya perempuan halus, seperti Peri-Perayangan, Wewe Gombel, Kuntilanak, Sundel Bolong dan sebagainya begitu lho." Kata Bagong jengkel.
      "Husss, Wuaduhh.... jangan keras-keras. Ini lho, lihat bulu kudukku sudah mulai merinding pada berdiri semua. Ini tanda-tanda Neneknya sudah ada di dekat-dekat sini." Kata Gareng sambil bersembunyi nylesep mepet di belakang pantat Kiai Semar.
     "Heii... Heh, heh, heh.. Ini anak-anak mbok ya jangan bikin ribut kenapa ya.   Kalian tahu Bendoro kita sedang mesu broto semedi. Hei... boro-boro ikut prihatin... heiii.... Malah pada celometan." Ujar Kiai Semar sambil kembali meringkuk menyelimuti tubuhnya dengan kain sarungnya. Merasa terusik oleh desakan Nala Gareng ia bergumam: "Lagi pula si Petruk seperti orang ngelindur saja. Sudah tahu kita akan nderek Bendoro Pamadi menempuh perjalanan jauh, ke Negeri Mandura. Bukannya pada siap-siap, heii... malah pada celometan tidak keruan. Heii... mana ada di hutan gung liwang-liwung begini ada perempuan mulus jualan lontong."
     "Bukan jualan lontong Romo. Tetapi minta tolong." Bagong menjelaskan.
     "Oi, heh. heh.heh.heh..." Kiai Semar kembali terkekeh: "Heii.... Saya kira jualan lontong. Jadi rupanya si mulus itu minta lontong. Oii... dasar perempuan gendeng. Di hutan lebat begini kok minta lontong. Siapa yang membawa-baw lontong ke hutan. Hooii, dasar perempuan lontong..." 
     Seketika semua terdiam. Jeritan minta tolong itu terdengar semakin jelas dan sangat dekat. Kira-kira sepelemparan batu, dibalik semak-semak di tepian bengawan.
     Kia Semar jadi terbangun, mengucek-ucek mata dan telinganya. Kembali suara itu terdengar sangat jelas. Suara itu suara perempuan yang sangat memelas yang harus segera ditolong, ujarnya: "Heh kamu Petruk. Sudah tahu ada orang minta tolong bukannya buru-burur lapor sama Bendaramu, heii... malah cuma pelompang-pelompong. Ayo cepat sana, segera munjuk atur." Bersamaan dengan perintahnya itu Kiai Semar berbalik membelakangi anak-anaknya  melangkah ke arah Raden Pamadi. Tetapi... Gabruk... Kiai Semar hmenabrak Raden Pamadi yang bergegas siap memberikan pertolongan.
     Tersipu Kiai Semar yang hendak munjuk atur kepada sang Pamadi, namun rupanya ia sudah keburu berangkat hendak memberikan pertolongan. Kiai Semar terdiam kagok dan dongkol. Tetap berdiri mematung ia mulai mengomel: " Nah, begini kan. Karena kalian senang bercanda celometan gak karuan. Akhirnya malah saya tabrakan dan ditinggalkan bendaramu. Ini gara-gara kalian." Sambil bersungut-sungut Kiai Semar berbalik badan ingin memarahi anak-anaknya. Kiai Semar terhenyak  menyadari, ia telah mengomel sendirian. Anak-naknya sudah kabur semua. Sambil terus ngedumel ia bergegas menyusul mereka ke tepi benawan. 
     Di Tepi bengawan Gareng, Petruk dan Bagong sedang sibuk berupaya meminggirkan rakit yang tersangkut akar pohon. Mereka berusaha mengangkat ketiga perempuan yang terjebak dalam ruang bawah rakit itu. Sang Pamadi mengawasi dari dekat. Setelah semua berhasil dientaskan ke tepian bengawan, maka segera Nyi Sagopi menyampaikan terima kasih kepada para penolongnya. Sembahnya: "Terima kasih banyak Raden. Saya tidak punya apa-apa dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk membalas kebaikan Andika semuanya. Seandainya tidak ada Andika sekalian yang menolong kami, entah apa jadinya hidup kami bertiga. Karena itu kami hanya bisa berdoa semoga semua kebaikan Raden mendapatkan ganjaran yang setimpal dari Yang Maha Kuasa."
      Mendengar penuturan Nyi Sagopi para punakawan mundur, memberikan kesempatan kepada Bendaranya untuk berbicara kepada ketiga  perempuan yang baru saja mereka tolong. Menjawab pelahan Sang Pamadi: "Nyai, sudah semestinya, menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong. Kalau boleh saya tahu, Nyai ini siapa, dari mana dan mengapa bertiga di dalam rakit yang agak nyolowadi ini. Sepertinya Nyai bertiga ini sedang menghindari atau bersembunyi dari sesuatu yang Nyai takuti."
     Menjawab Nyi Sagopi: "Saya Nyai Sagopi, Istri Ki Demang Antagopa, dari Widorokandang. dan ini kedua putri saya Niken Rarasati dan adiknya Raraireng. Sebaliknya, kalau boleh saya mengetahui, Andaika ini siapa dan dari mana. Menurut hemat saya, Andika bukan warga sekitar sini." 
     "Betul Nyai." Jawab Pamadi. "Saya bukan warga sekitar sini. Saya datang dari jauh nama saya Pamadi atau Panduputra. Putranya Ibunda Dewi Kunti Talibranta dari Negeri Hastinapura.  Sedang mereka berempat adalah para punakawan. Kiai Semar dan ketiga anaknya, Nala Gareng, Petruk dan Bagong. Saya dalam perjalanan menuju alun-alun kota Mandura. Apakah Nyai tahu jalan menuju Kota Mandura ?"
     Hampir berteriak Nyai Sagopi terperanjat. Tidak menyangka saat ini, di hutan ini ia berhadapansangat dekat dengan seorang ksatria agung yang senantiasa menjadi buah bibir dan kekidungan setiap wanita di seluruh negeri. Tanpa diduga hari ini ia imbal wacana dengan Raden Harjuna ksatria sakti mandraguna berparas tampan, sempurna tanpa cacad. Senyumnya menghanyutkan kalbu siapa saja yang memandang. Jangankan wanita, sesama pria pun bisa-bisa terhanyut, kayungyun, gandrung kasmaran bila memandang wajah dan senyumnya. Tutur katanya yang halus dengan pandangan matanya yang teduh menyejukkan siapa pun lawan bicaranya. Tindak-tanduknya yang serba halus, sopan rendah hati serta selalu menghormati semua orang. Bagi yang baru mengenalnya mereka pasti menyangka bahwa pria yang lembut, halus budi bahasanya ini adalah lelaki yang lemah. Namun sesungguhnya, di  balik  kelembutan dan kehalusannya itu justru tersimpan sikap rendah hati, sengaja untuk menyembunyikan kekuatan dan kegagahan serta kesaktiannya. Ia terkenal sebagai lelaki lelananging jagad jagonya para Dewa, yang selalu memenangkan berbagai peperangan. Ia tidak pernah memulai persengketaan, tetapi tidak akan selangkah pun mundur bila harus bertempur. Dan Sang Panengah Pandawa ini selalu tampil sebagai petarung yang unggul
     Sejenak Nyi Sagopi tertegun. Tiba-tiba muncul Kiai Semar yang langsung bicara: "O, o. Ini to, yang katanya jualan lontong di tengah hutan  itu. Mana-mana lontongnya mana."
     "Walah Kiaine ini, ingatannya kok selalu saja soal makanan saja, to ya." Sergah Nala Gareng. Ini bukan jualan lontong. Ini yang tadi minta tolong Romo. Namanya  Nyai Sagopi dari negeri Mandura."
       "Sagopi, Mandura.... Prabu Basudewa. Heiii... ya, ya, ya. Saya jadi ingat sekarang. Ini Nyai Sagopi jaman Mendiang gustimu Prabu Pandu Dewanata, ayahandanya ndoro Pamadi ini dulu sering ke Kraton Mandura. Nah, Nyi Sagopi ini yang menyiapkan daharan bujana kedaton. Wo... Nyai Sagopi ini  juru masak kondang dan selalu menghidangkan ondrowino yang hemmmm ...... membuat para pembesar Kerajaan Mandura kesengsem serta ketagihan masakannya. Heh, iya ndoro Pamadi, tidak salah lagi. Ini Nyi Sagopi dulu abdidalem tata bujana kedaton uwakmu Prabu Basudewa dari Mandura. Silakan sampeyan dhawuh sendiri." Ujar Ki semar memperkenalkan siapa sebenarnya Nyi Sagopi.
     Iya Nyai Sagopi. kejadian apa sebenarnya yang menimpa Nyai, sehingga terdampar sampai di sini ?" Tanya Pamadi.
     "Begini Raden, sebelumnya saya sungguh mohon ampun bila ada tingkah-laku dan sikap saya beserta putri-putri saya yang tidak berkenan. Sesungguhnya kami ini menghindari kejaran para prajurit Sengkapura yang hendak menjarah putri-putri saya ini. Tempat tinggal saya di Kademangan Widorokandang sudah ludes dududuki. Suami saya Ki Demang Antagopa belum ketahuan nasibnya. Terakhir saya diselamatkan oleh keluarga saya dihanyutkan dengan rakit ini. Tetapi saya kira masih ada beberapa prajurit yang mengikuti rakit ini dan mengawasi dari seberang sana. Karena juru penambang rakit ini berhasil mereka tangkap dan kemungkinan sudah mengaku dan mengatakan keberadaan kami. Oleh sebab itu Raden saya pasrah keselamatan kedua putri saya ini kepada Raden Pamadi dan mohon perlindungannya. Hidup dan mati mereka berdua sekarang berada di tangan raden." Begitu lega perasaan hati Nyi Sagopi setelah menyerahkan kedua putrinya yang kini berada dalam perlindungan Ksatria Pandawa.
     "Jangan kuatir Nyai." ujar Sang Pamadi: "Siapa pun yang berada atau berdekatan dengan Ksatria Pandawa harus merasakan ketentraman dan perlindungan. Apalagi ini putri Nyai Sagopi yang telah menyatakan minta pertolongan. Saya jadi ingin segera tahu, manusia seperti apa yang tega menjarah wanita yang tidak berdaya, hingga terhanyut di bengawan yang sedang banjir bandang." Ujar Pamadi.
     "Mereka pasti masih di seberang sana Raden, karena mereka akan menangkap putri saya untuk dibawa dan dipersembahkan kepada gustinya dijadikan permaisuri Adipati Anom Warakangsa di Kadipaten Sengkapura." Kata Nyi Sagopi sembari mengamati seberang tepian bengawan.
     "Baiklah Nyai, mari kita segera menyeberang. sekalian ingin mengetahuiseperti apa wujudnya para prajurit Sengkapura yang sudah ambeg daksia sewenang-wenang kepada kawula lemah." Berkata demikian Sang Pamadi  sambil mempersilakan Nyi Sagopi dan kedua putrinya kembali menaiki rakit yang didayung oleh para punakawan ke seberang.
     Sesampai di seberang. Nyi Sagopi sekali lagi menyerahkan kedua putrinya,. Sementara ia sendiri ingin segera kembali ke Kademangan untuk membantu Ki Demang. Tanpa menunggu jawaban Sang Pamadi, secepat kilat Nyi Sagopi telah menghilang ke balik rerimbunan semak belukar di tepian bengawan menyusuri jalan setapak menuju kembali ke Kademangan. Dalam batin Nyi Sagopi ingin segera bertemu Ki Demang Antagopa untuk menceritakan kisah pelariannya hingga bertemu dan menyerahkan kedua putrinya kepada Sang Pamadi. Terbayang oleh Nyi Sagopi, betapa kagum dan bahagianya Ki Demang, ketika nanti mengetahui kedua putrinya telah berada dalam perlindungan Sang Panengah Pandawa, Putri Dewi Kunti, Prameswari Mendiang Prabu Pandu Dewanata.dari negeri Hastinapura.
     Terkesiap sang Pamadi ketika dengan serentak muncul dari balik gerumbul semak-semak gelagah alang-alang empat sosok manusia yang berbadan besar mirip raksasa dengan rambut gimbal seperti orang hutan. Keempatnya nampak sudah sangat berhasrat dan siap menyerang. Tiba-tiba salah satu yang berbadan paling kurus, dengan gerakan yang gesit dan sangat lincah mendekati sambil secepat kilat menyambar leher sang Pamadi. Untung Pamadi waspada. Dimiringkan tubuhnya hingga ayunan tangan si penjambret luput.bahkan terhuyung kehilangan keseimbangan. Kesempatan itu digunakan oleh sang Pamadiuntuk mendaratkan tendangan ksatria tepat ke sisi rusuk kirinya. Terdengar suara gemeretak yang ditimbulkan oleh tiga ruas tulang rusuknya retak patah. Si Kurus itu jatuh tersungkur sambil mengerang menahan sakit. Lebih murka lagi, karena ia ditertawakan oleh ketiga kawannya. Sang pamadi menebar pandangan ke sekeliling dan memperhatikan keempat musuh yang  kemungkinan akan menyerang mendadak tanpa disangka-sangkanya. Naluri keperwiraannya membisikkan ini adalah mereka yang mengejar Nyi Sagopi dan kedua Putrinya. Dari sikapnya yang adigang, adigung, adiguna, bisa ditebak ini prajurit pilihan dari Kadipaten Sengkapura. mereka bukan sembarang prajurit. Pasti memiliki kelebihan dan kesaktian khusus, sehingga dipercayakan mengemban tugas sangat penting dan rahasia, yakni membawa pulang kedua putri Nyi Sagopi. Mereka pasti sangat patuh dan menjunjung tinggi perintah Gustinya. Mereka lebih suka mati mengemban tugas, daripada pulang tanpa hasil.
     Prajurit yang tersungkur itu kini masih tertelungkup, namun indra penglihatan sang Pamadi menangkap adanya gerakan-gerakan yang sangat halus dan pelahan. Dari letak kaki kiri dan kanannnya ia akan bangkit kembali. Tangan kanannya memegangi rusuk kirinya yang cedera parah,sedang tangan kirinya menggenggam keris di balik sabuk kain tebal yang melilit pinggangnya. Sekilas, pengamatannya menduga prajurit satu ini kidal, tangan kirinya lebih kuat, trampil dan cekatan.
     Benar dugaan Sang Pamadi. Satu gerakan yang luar biasa cepatnya, tiba-tiba dari telungkup, prajurit itu melompat bagaikan seekor tupai melayang sambil mengarahkan sebilah keris tepat ke leher sang Pamadi. Secepat kilat Pamadi menyongsong sambaran keris itu tepat di pergelangan tangan kiri si penyerang. Sekuat penjepit besi baja pergelangan tangan itu terkunci lalu dengan satu pelintiran ke dalam tertekuk dengan genggaman kuat kerisnya mendongak ke atas. Sekali lagi sang Pamadi mengambil berat badan dan daya dorong lompatan itu untuk menjatuhkan tubuh lawannya.
     Terjerembab lawan yang penuh amarah dan nafsu membunuh itu rubuh ke arah badan sang Pamadi yang segera merendahkan tubuhnya dengan sikap ksatria bersembah. Sehingga tngan kanannya yang mengunci erat pergelangan tangan musuh dengan kerisnya menengadah tepat bertumpu pada lutut kanannya yang tegak lurus membentuk kuda-kuda yang sangat kokoh.
     Melengking jeritan lawan, begitu terjerembab di atas lutut sang Pamadi. Punggungnya memancarkan darah segar dari tancapan kerisnya sendiri yang menembus dada, mendobrak jantung, hingga mencuat  ujung keris itu di punggungnya. Berkelojotan tewas seketika.
     Terbelalak ketiga kawan lainnya. Tersadar ia menghadapi lawan yang diam-diam berlagak lamban, tetapi ternyata menguasai kecakapan dan ketangkasan berperang yang tangguh. Bertiga mereka siap menyerang bersama. Yang paling tinggi besar, berdiri agak ke belakang memegang trisula. Pamadi menduga dia adalah pemimpin mereka,. Hal ini nampak dari sikapnya yang sering memberikan isyarat gerakan dan rakit gelar penyerangan. Sedang dua orang lainnya berdiri agak ke samping kiri dan kanan masing-masing memegang sebilah keris pusaka. Tersenyum sang Pamadi menghadapi sikap ketiga lawannya ini. Pertempuran seperti inilah yang paling disukainya. Menghadapi beberapa orang musuh yang masing-masing memegang senjata tajam. Bagi sang Pamadi murid kesayangan Maharesi Durna,Gurunya para Pandawa dan Kurawa ini, pertempuran demikian adalah latihan sehari-hari. Ia sering dan biasa mengalahkan sepuluh orang lawan bahkan dua puluh lima orang lawan sekali gebrag. Para putra Astinapura ini selalu digembleng untuk terampil menggunakan berbagai senjata. Terutama jemparing, tombak, keris, pedang, gada dan bindi. Demikian pula keahlian mengendarai kuda-kuda dan kereta perang.
     Dalam setiap pertemuan Raden Pamadi selalu paling cepat dan tepat untuk memberikan penghormatan kepada sang Mahaguru Durna dengan cara membidik dan melepaskan anak panahnya hingga memutuskan selembar jenggot yang sengaja ditarik dibentangkan oleh  sang Mahaguru. Selama ini Pamadi selalu tepat mengenai sasaran. Padahal kehadiran sang Mahaguru tidak bisa diduga  waktu dan  dari mana arah kemunculannya di arena pelatihan. Seolah disengaja untuk menguji kesiapan dan kepiawaian sang murid kesayangan, untuk bisa memanah dalam kedaan dan ke arah sasaran, di mana dan bagaimanapun  keadaannya dengan cepat dan tepat.
     Sesungguhnya menghadapi ketiga lawannya yang sekarang ini, sang Pamadi bisa dengan sangat mudah melumpuhkannya. Bahkan kalau menghendaki, bisa sekali tebas dengan mata tertutup. Ia terlatih dengan pertarungan mata tertutup yang wajib diikutinya setiap hari.
     Melihat sikap sang Pamadi yang tenang dengan senyumnya yang selalu membayang   ketiga prajurit Sengkapura itu makin murka. Dua prajurit yang di depan memberi isyarat untuk bersama-sama menyerang. Sang Pamadi yang sangat paham akan akan ke mana gerakan kaki dan tangan lawan ini, hanya sejenak menyapu pandangan sekilas. Dan ketika keduanya menyerang bersama dengan menusukkan kerisnya ke arah lambung kanan dan kiri, sang Pamadi hanya menggeser sedikit pinggangnya. Sehingga kedua bilah keris itu bersimpangan hanya setengah jari dari kepala sabuk timangnya. Tetapi malapetaka bagi lawannya., ketika menggeser pinggangnya, sang Pamadi dengan gerakkan halus namun berkekuatan dahsyat mengibaskan uncal wastra yang menimbulkan bunyi ledakan laksana cemeti membelah udara. Kibasan ini menggaet musuh yang menyerang dari sebelah kiri, terhuyung merunduk kehilangan keseimbangan hampir menubruk sang Pamadi. Bertepatan dengan  keris kawannya yang mengarah lambung Pamadi, salah sasaran menembus leher kawan meretas pembuluh darah utama di lehernya. Sedang si pemegang keris baru menyadari lambungnya tertembus keris kawannya. Gelagapan nanar pandangan matanya menggigil, terburai ususnya bersimbah darah keduanya meregang nyawa seketika.
     Menyaksikan kawan-kawannya berguguran dalam waktu yang sangat singkat, prajurit yang paling tinggi-besar, selangkah mundur membelakangi pohon randu alas. Menahan geram ia bertanya dengan terikan  mengguntur: "He ksatria pemberani. Jangan kau mati tanpa nama, Siapa kau ini sebenarnya ?"
     "Dengan tenang sang Pamadi menjawab: "Sebaliknya kamu yang tersisa dari kawanan perusak, perusuh, pengganggu ketenteraman yang gemar membikin onar dan menjarah-rayah kawula lemah. He, kalian yang beraninya meruda-paksa dan membuat miris para perempuan yang tak berdaya. Siapa kalian dari mana asalmu. Kalau masih sayang nyawamu bertobat dan menyerahlah kamu, saya berikan kesempatan untuk memperbaiki kehidupanmu."
     Panas mendengar ucapan Pamadi, lawan terakhir yang berambut gimbal kemerahan  ini kembali berteriak mengguntur: "Keparat. Gede kepala kamu. Hei bedebah. Jangan merasa sudah memenangkan pertarungan. Camkan,  sekarang ini kau berhadapan dengan Ditya Rambutgeni. Saya yang dituakan dari keempat prajurit kepercayaan Gustiku Prabu Anom Warakangsa dari Kadipaten Sengkapura. Waspadalah kau ksatria. Kalau kalah melawan aku, kau celaka . Tapi kalau pun kau menang, kau berhadapan dengan kekuasaan tertinggi di negeri Mandura ini. Berani sekali kau membunuhi ketiga saudaraku."
     "Saya ingatkan sekali lagi hai Ditya Rambutgeni" Jawab Pamadi datar: "Sayangilah nyawamu janganlah kau mati sia-sia. Pulanglah ke negerimu, sampaikan salam  persahabatan  saya kepada Gustimu Prabu Anom Warakangsa. Saya Raden Pamadi atau Harjuna atau Panduputra sang  Panengah Pandawa, putra mendiang Ayahanda Maharaja Prabu Pandu Dewanata dari Ibunda Prameswari dewi Kunti Talibranta di Negeri Hastinapura. Saya yang menghalang-halangi kehendak gustimu menjarah-rayah Nyai Sagopi dan kedua putrinya Niken Rarasati dan Raraireng."
     "Terkutuklah kau Pamadi." Sergah Ditya Rambutgeni: "Kau akan menyesal seumur hidupmu, kalau menyadari kepada siapa kau sesumbar. Awas bersiaplah kau menghadapi senjataku, pusaka anugerah dari gustiku."
     Tiba-tiba Ditya Rambutgeni menjejak tanah, menapak tegak lurus bagai berlari ke puncak pohon  randu-alas yang menjulang tinggi. Waspada sang Pamadi. Ia menyadari berhadapan dengan bukan sembarang lawan. Sekejap sadar bahaya yang mungkin mengancam kedua putri titipan Nyi Sagopi dan keempat punakawannya yang pasti terlihat sangat jelas dari ketinggian, tempat Ditya Rambutgeni bertengger. 
     Sementara Ditya Rambutgeni memutar-mutar trisula di tangannya yang mengeluarkan percikan api yang menyambar-nyambar dan membakar dedaunan serta pohon di sekitarnya. Matahari senakin meredup, hari menjelang senja. Pijar-pijar api itu makin menjadi-jadi. Tampak sinar biru kehijau-hijauan di temaramnya senja. 
     Ingin segera menyudahi perkelaian ini,  sang Pamadi segera meraih busur panah. Secepat kilat terlepas anak panah melesat tanpa suara, menembus dada Ditya Ranbutgeni tertancab ke pohon randu-alas,. Meraung bagai auman si raja hutan Ditya Rambutgeni tewas menyandar terpku ke batang phon oleh anak panah sakti.
     Sambil membasuh bercak-bercak darah bekas pertempuran, sang Pamadi menyapukan pandangannya ke sekeliling rerimbunan semak belukar mencari-cari kedua putri Nyi Sagopi juga keempat punakawannya yang tidak nampak. Setelah senyap beberapa saat, muncullah satu per satu , Nala gareng, Petruk, Bagong. Baru kemudian pelahan Kiai Semar belakangan.
      "Kiai Semar dan anak-anakmu, siapa yang tahu, di mana kedua putri Nyai Sagopi tsekarang?"  Tanya sang Pamadi.
       Menjawab Kiai Semar: "Heii, ... Aaaa ... kalau saya tidak salah lihat,  tadi ada di belakang sama si Nala Gareng. Heh, Nala gareng, di mana tadi kedua putri Nyi Sagopi ?" Tanya Ki Semar kepada Nala Gareng.
      "Tadi saya lihat di sana, di bawah pohon Gambirsawit ditemani Petruk. " Jawab Gareng: yang ganti bertanya kepada Petruk: "Truk, kemana tadi putrinya Nyi Sagopi ?"    
      Petruk menyahut: "Tadi sama si Bagong katanya mau mencari daun sirih hitam. Gong di mana kedua putri Nyai Sagopi tadi ?" Ganti Petruk bertanya kepada Bagong.
      "Lha tadi katanya mau mengantar daun sirih dan kulit  jambe ke Kiaine Romo Semar yang sedang nyelonjor dibawah pohon kemuning tadi. Romo Semar pasti tahu terus ke mana ?"
      "Hei, kurang ajar. Pada sembrono, sembarangan" Kiai Semar menukas: " Tidak ada yang nyelonjor di bawah pohon kemuning. Tidak ada yang ngasih daun sirih. Tidak ada kulit jambe. 
Romo malah tidak pernah melihat lagi Nyi Sagopi. Begitu turun dari rakit tadi terus hilang dari pandangan saya. Apa lagi putri-putrinya." Ujar Kiai Semar.
     Sang Pamadi menyadari adanya gelagat yang kurang enak. Segera berjalan meninggalkan para punakawan sambil berpesan: "Hari semakin gelap. Sebelum malam tiba, kita harus sudah bisa menemukan jejaknya kedua putri Nyi Sagopi. Atau kita akan berjalan sepanjang malam tanpa makan dan tidur. Kiai Semar siapkan anak-anakmu untuk perjalanan malam yang panjang dan lebih berat. Berhati-hatilah, jangan lebih dari serobohnya landean dari saya,"
     "Hei, ..  anak-anak kita akan berjalan jauh sepanjang malam. mengikuti Bendaramu, menapaki jejaknya para putri Nyi Sagopi. jangan jauh-jauh dari saya. Jangan lebih dari serobohnya landean dari Bendaramu." Kata Kiai semar mengajak anak-anak segera mengikuti sang Pamadi yang sudah menghilang di keremangan senja di hutan Dandaka.


6

Pagombakan Hastinapura
   
.............  Bahkan kepandaian dan kesaktiannya tidak akan mampu menyelamatkannya.
Tetapi hanya kesucian dan ketulusan batin serta kehendak Yang Maha Kuasa yang akan menyelamaatkan dan melindunginya. Dengan atau tanpa kedatangan saya untuk membantunya tidak banyak artinya. 
Kalau memang bersih hatinya, lurus tekadnya selamat si Pamadi. Tetapi sebaliknya, kalau cemar batinnya 
dan lethek budi pekertinya ia akan hancur lebur tidak tertolong lagi ..........

     Bangunan mungil yang anggun itu  menebarkan nuansa sejuk, adem punuh karisma. Tertata apik dan indah, dihiasi dengan tanaman hias bunga-bunga beraneka warna. Diselingi pohon buah-buahan yang sedang berbuah lebat dan ranum. Terhampar pelataran luas dengan ditumbuhi rumput hijau. Letaknya tepat di belakang kedaton Istana Agung Negeri Hastinapura.
     Pagombakan yang semula tempat menyimpan barang-barang peninggalan  seni-budaya dan perpustakaan, kini ditata asri dan dihuni oleh Dewi Kunti, Janda Prameswari Mendiang Maharaja Pandu Dewanata dan putra-putranya Pandalwa.
   Sepeninggal Maharaja Prabu Pandu Dewanata, singgasana diduduki oleh Prabu Destarastra, kakanda Mendiang Prabu Pandu. dan Dewi Gandarii isteri Destarastra menjadi Prameswari Nata, perempuan nomor satu di Kaputren. Dengan demikian tercapailah idaman Dewi Gandari kini,  berhasil menguasai seluruh kedaton seisinya
     Sangat terasa nuansa rekayasa untuk meminggirkan pengaruh mendiang Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Kunti Talibranta beserta kerabat dan para pendukungnyadari lingkaran kekuasaan negara. Dewi Kunti dan anak-anaknya hanya diberikan tempat tinggal yang sangat sederhana. Sungguh tidak sepadan dengan jasa-jasa Menmdiang Prabu Pandu Dewanata, suami dan ayah para Pandawa yang telah membangun nama besar dan memakmurkan negeri Hastinapura. Hal ini adalah hasil rekayasa akibat dendam kesumat dari Patih Sangkuni adik kanmdung Dewi Gandari, Pangeran adipati dari negeri Gandara.

     Dikisahkan ketika negeri Mandura menyelenggarakan Sayembara Pilih unuk mencarikan calon suami putri kedaton Mandura yang sangat terkenal selain kecantikannya juga kepandaiannya dalam hal seni sastra, falsafah, dan ilmu kesaktian lainya. Oleh sebab itu banyak sekali raja-raja dan adipati baik dari sekitar Mandura ataupun dari manca negara yang melamar menginginkan menjdikannya permaisuri. Konon diramalkan bahwa dari Dewi Kunti akan menurunkan ksatria dan Ratu Adil yang bijaksana yang bisa memakmurkan Jagad Raya.
     Ketika itu, Patih Sangkuni masih muda remaja tampan, cerdik dan sakti mandraguna. Bergelar Adipati Anom Raden Haryo Suman, putra raja Negeri Gandara.  Ikut menyertai setiap kemana Aryo Suman pergi, kakandanya yang sangat menyayanginya Dewi Gandari.putri cantik jelita sekar kedaton Gandara. 
      Karena perjalanannya yang cukup jauh, sesampainya di negeri Mandura sayembara sudah ditutup. Pemenangnya sudah terpilih dan baru saja selesai dilakukan pengalungan untaian bunga sebagai penghormatan oleh Dewi Kunti kepada sang pemenang yaitu Raden Pandu Dewanata. Pandu Dewanata adalah ksatria,  putra raja pinandita Mahaprabu Bagawan Abiyasa  dari negeri Hastinapura.
     Terdorong oleh hasratnya yang ingin menjadi pemenang, dan selama ini ia selalu menang atau dimenangkan, Pangeran Aryo Suman tidak bisa menerima kejadian ini. Ia tidak merngakui kedatangannya terlambat, dan memaksakan diri harus bisa mengikuti pemilihan. Menurut Aryo Suman kalau ia mengikuti pemilihan pastilah ia pemenangnya. Terjadi perbedaan pendapat. Pangeran Aryo Suman dan beberapa peserta yang mendukungnya berpendapat semua peserta harus dipilih sampai habis baru ditutup. Kemudian diumumkan pemenangnya.  Sementara para pembesar Negeri Mandura menetapkan , ketika sudah ada yang terpilih maka sayambara ditutup. Selesai. Karena tidak didapat kesepakatan, dalam suasana agak tegang itu, Pangeran Aryo Suman naik ke blabar kawat. Dengan lantang mengumumkan bahwa sayembara belum selesai. Sekarang ia menantang kepada Raden Pandu Dewanata dan siapa saja yang bisa mengalahkannya, boleh memboyong Dewi Kunti. Tetapi kalau tidak ada yang bisa mengalahkan dirinya maka Dewi Kunti menjadi miliknya. 
     Beberapa Raja dan Adipati mencoba dan memang kalah dalam pertandingan adu kesaktian melawan Aryo Suman, yang selain berpenampilan gagah, tampan, cerdik dan sakti mandraguna juga pemberani.
     Raden Pandu Dewanata yang semula enggan melayani kehendak Aryo Suman, akhirnya tampil ke blabar kawat dengan maksud ingin segera menghentikan kekisruhan ini.
     Penampilan Raden Pandu Dewanata yang masih mengenakan kalung untaian bunga tanda pemenang sayembara dari Dewi Kunti ini membuat semua yang menyaksikan tertkesima. Para raja dan adipati peserta atau tamu kehormatan yang sengaja ingin menyaksikan  sayembara ini tertegun terpesona betapa penampilan seorang putera Maharaja Pinandita yang termasyur, pemenang sayembara besar ini begitu sederhana. Wajahnya yang bersih kepucat-pucatan, gerakannya yang lemah-lembut, pandangan matanya yang teduh memancarkan kedamaian. Sikapnya yang jauh dari keinginan menonjolkan dirinya, membuat Adipati Aryo Suman semakin penasaran. Segera dilabraknya Raden Pandu hingga terpental menghindari tendangan Aryo Suman menghancurkan jambangan bunga hias setinggi tubuh manusia. Gemuruh sorak sorai dan tepuk tangan para pendukung Aryo Suman. Belum juga tegak berdiri juga tegak berdiri Raden Pandu sudah mendapat serangan lagi. Kali ini pukulan dan sambaran tangan kosong tepat ke arah dada dan kepala. Ketika tangan Raden Pandu ingin menangkis, malah tertangkap dan dicengkeram oleh tangan Aryo Suman yang kuat bagai gunting baja. Dengan kecepatan dan kekuatan luar biasa Raden Pandu dihentakkan  ke atas hampir terpelanting. melayang ke udara. Sadar bahaya yang mengintai, Raden Pandu segera mewateg ajian Sarasepata, yang bisa meringankan tubuh. Bagaikan daun kering yang terlepas dari jatuh dari rantingya Raden Pandu melayang turun. Kaki Raden Pandu  menyentuh tanah,  tanpa sebutir pasir pun bergeser dari tempatnya.  Bahkan tidak tampak ada selembar pun kelopak bunga untaian yang dilkalungkannya berguguran lepas dari tangkainya. Oncen-oncen kembang itu tetap menjuntai  indah menghiasi lehernya yang jenjang. Makin menjadi-jadi amuk Aryo Suman, melihat lawannya tetap bersikap tenang, seperti tidak merasakan apa-apa atas beberapa terjangan jurus saktinya. Ia mulai tidak sabar laghi, segera mendekat ingin menghabisi Raden Pamadi. Begitu tinggal sehasta jaraknya Aryo Suman secepat kilat menghunus keris pusaka yang disengkelit di pinggangnya. Namun petaka yang ia dapatkan. Bersamaan dengan terhunusnya keris pusaka, ia tersambar ajian Sarasepata yang selalu muncul seketika bila si pemilik ajian terancam bahaya. Memancar dari pusar Raden Pandu bagaikan puting beliung, pusaran bayu bajra ini memutar menyedot ke atas umbun-umbun Aryo Suman dipelintirnya ke atas laksana mainan gasing. melayang di udara.
     Setelah melemah pusarannya namun masih melayang-layang di udara Aryo Suman baru sadar ia menjadi tontonan orang sealun-alun negeri Mandura. Ia berteriak-teriak minta ampun dan minta segera diturunkan. Raden Pandu menyatakan bahwa yang bisa menaikkan dan menurunkannya bukanlah Pandu Dewanata melainkan dirinya sendiri dengan jalan mengakui kesalahan dan mengaku sejujurnya ia telah kalah. Ketika Aryo Suman benar-benar telah mengakui dalam hati bahwa ia merasa bersalah dan mengaku telah kalah dengan Raden Pandu, Seketika ajian Sara sepata menurunkannya dengan pelahan hingga menapak di atas tanah kembali. Segera Aryo Suman menghampiri ke hadapan Raden Pandu ingin bersembah menyampaikan permohonan ampunannya. Namun ketika berjongkok di hadapan Raden Pandu terlihat olehnya di dekat kaki Raden Pandu keris pusaka miliknya yang tadi terlempar jatuh. Terbersit niat jahatnya untuk membalas mempermalukan Raden Pandu. Maka diam-diam Aryo Suman mengarahkan tangannya ke keris pusaka itu untuk menghunjamkannya ke lambung Raden Pandu yang sangat dekat di hadapannya. Ketika tangannya yang cekatan bagai kilat itu menyentuh hulu keris pusaka, kembali ajian Sarasepata menyambar dan menyedotnya ke awang-awang hingga tak sadarkan diri. Beberapa saat lamanya Aryo Suman melayang-layang setengah sadar. Ia melolong-lolong di langit minta ampun. 
     Dengan sangat tenang Raden Pandu menjelaskan kembali bahwa bukan dirinya yang bisa mengampuni dan menurunkannya. Tetapi sekali lagi, hanya hati nuraninya sendiri yang dengan setulus-tulusnya mengaku dan memohon ampun dan tidak akan mengulanginya lagi yang akan menolongnya.
     Menyaksikan keadaan adik kesayangannya menderita dan dipermalukan demikian, tidak tahan Dewi Gandari menghampiri dan bersembah kepada Raden Pandu. Seraya menghiba-hiba agar adindanya segera diampuni, Dewi Gandari berjanji akan mengabdi dan berserah diri kepada Raden Pandu. Apapun perintahnya akan dilaksanakan demi menebus kesalahan adinda Aryo Suman.
     Permohonannya dikabulkan atas jaminan dan janji Dewi Gandari. Maka ajian Sarasepata menurunkan Aryo Suman dengan keras hingga terjerembab sangat keras ke atas  tanah layaknya jatuh dari langit. hingga tak sadarkan diri. Ketika siuman dan berusaha bangun, ternyata badannya ringsek. Penampilannya yang semula gagah perkasa, kini berubah sama sekali. Berdirinya miring sebelah dengan tulang pungung patah. Rahangnya melesak dan mata sebelah kiri hampir keluar dari rongganya. Berjalan sempoyongan tertatih-tatih bicaranya tidak jelas serah dan agak pelo. Ia ngeloyor meninggalkan gelanggang dan kakak kesayangannya yang masih bersimpuh meratap di depan kaki Raden Pandu Dewanata.
     Menyaksikan kejadian yang mengenaskan ini tiba-tiba seorang pangeran tampan dengan penuh percaya diri melompat memasuki blabar kawat menghampiri dan menantang Raden Pandu: "He, Pandu. Bukan hanya kamu seorang yang kesaktian dan ajian. Ayo lawanlah aku Pangeran Aryo Narasoma Putra Mahkota dari Negrei Manddaraka. kalau tidak bisa mengalahkan aku, semua kemenanganmu menjadi milikku. Tapi sebaliknya kalau kamu bisa mengalahkan aku, tahta dan kearajaanku menjadi milikmu. Sebagai bukti kesungguhan ucapanku, ini adikku Dewi Madrim Putri sekar kedaton Mandaraka. Ia akan menjadi putri boyongan milikmu sebagai tanda bukti kekalahan dan taklukku." 
     "Saya tidak meminta dan tidak juga menghindari tantanganmu. Narasoma, kita sama-sama ksatria, pangeran mahkota putra raja yang sangat dihormati. Saat ini kita berada di tengah-tengah arena blabar kawat yang disaksikan oleh para raja dari berbagai negeri beserta ribuan kawula wadya. Sesuai apa yang kamu kehendaki mari kita segera laksanakan pertarungan yang bermartabat. Kalah dan menang dalam pertarungan ini, janganlah menjadikan kita para ksatria kehilangan kehormatan dan harga diri. Pertarungan ini adalah bagian dari darma bakti kita sebagai seorang ksatria yang sedang menjalankan kewajiban. Sebagai penegak dan pengawal kebenaran serta keagungan ciptaan Yang Maha Mencipta. Persiapkan dirimu dan berhati-hatilah. Ujar Pandu Dewanata.
     Tersinggung oleh kata-kata Pandu Dewanata, Narasoma menjawab lantang: "Tidak usah banyak nasihat. Tunjukkan kesaktianmu Pandu Dewanata. Hari ini kamu akan menyesali keangkuhanmu."
     Segera Pangeran Narasoma mengeluarkan ajian Candabirawa yang nggegirisi dan sangat mengerikan . Ajian ini memiliki keunggulanyang mampu mengeluarkan raksasa kerdil dari pusar pemegangnya. Wujud raksasa ini sangat mengerikan yang membuat lawan ngeri dan miris hingga bisa mati berdiri karena ketakutan. Raksasa kerdil ini memiliki kekuatan luar biasa. Ia sangat buas dan rakus, memakan apa saja yang mengganggu atau menghalangi kehendak pemiliknya. Ketika raksasa ini disakiti lawan atau dilukai, maka setiap tetes darahnya akan menjelma sesosok raksasa kerdil yang baru. Sehingga dalam sekejap akan muncul ratusan bahkan ribuan raksasa kerdil yang mengerikan, beringas dan rakus.
     Tetapi kali iniNarasoma salah menilai lawan. Ia sedang menemui apesnya. Raksasa kerdil yang muncul dari tubuhnya tiba-tiba menjadi sangat tenang dan begitu halus tingkah-lakunya. Raksasa kerdil itu bahkan bersimpuh dan menyembah penuh hormat kepada Raden Pandu Dewanata.
     Kesal atas penampilan ajian Candabirawa itu, Pangeran Narasoma menanyakan, apa sebabnya ia tidak menghabisi Raden Pandu. Candabirawa menjawab: "Ketahuilah Narasoma. Kami diciptakan untuk membasmi dan memusnahkan keangkara-murkaan di muka bumi ini. Pesan gustiku mendiang Begawan Bagaspati ayahanda mertuamu sebelum kau bunuh dahulu,
kami untuk sementara waktu dititipkan kepadamu, untuk membantumu menegakkan dan membela kebenaran. Selanjutnya kami harus menunggu kehadiran ksatria tama yang berdarah putih yang seluruh kehidupannya hanya diabdikan untuk menjaga dan menegakkan kebenaran dan keadilan. Di situlah tempat pengabdianku yang terakhir. Sementara yang kau hadapi sekarang ini adalah Ksatriatama gemar tapa-brata, titisan para wiku dibya. Ksatria ini yang akan menurunkan ksatriatama yang kami nantikan kehadirannya dan juga ditunggu-tunggu oleh jagat raya seisinya. Kalau kau mau jadi ksatriatama yang dihormati kawan maupun lawan, bersahabatlah dengan manusia mulia ini." Usai berbicara begitu, raksasa kerdil ini kembali lenyap dari pandangan mata.
   Dalam ketertegunan, Narasoma melangkah mendekati Raden Pandu Dewanata sebagaimana Candabirawa tadi maka bersembahlah ia sambil berucap: " Wahai ksatria pilihan para Dewa. terimalah sembah tanda takluk hamba. Hari ini hamba menyaksikan  sendiri dan mengakuikehebatan dan kemuliaan Paduka. Hamba akan menepati janji. Trimalah pengabdian, jiwa raga hamba beserta ajian Candabirawa. Tahta kerajaan dan seluruh wadya bala beserta kekayaan Negeri Mandaraka menjadi milik dan kekuasaan Paduka. Terutama hamba pasrahkan adinda kesayanganku sekar kedaton Mandaraka Dewi Madrim. Hamba pasrahkan kepada paduka sebagai tanda takluk. Jadikan ia abdi atau dayang-dayang paduka sokur-sokur paduka berkenan menjadikannya abdi juru panebah peraduan. Hamba sudah cukup berbahagia apabila diterima pengabdian hamba dan diperkenankan berdekatan dengan ksatria mulia seperti Paduka.
     Tersentuh hati Raden Pandu Dewanata menerima pengakuan Pangeran Narasoma yang tulus. Apalagi ketika menerima sembah adindanya, Dewi Madrim yang luwes, merak ati, mempesona siapa saja yang memandang wajahnya. Dari penampilannya yang rendah hati, Dewi Madrim menampakkan keanggunan yang tidak dimiliki setiap wanita. Pada pandangan pertama Raden Pandu Dewanata sudah jatuh hati dan kesengsem melihat sikap dan tingkah laku serta tindak-tanduknya yang demikian santun sehingga walau baru sekilas, sudah menggambarkan kemuliaan hatinya.
     Raden Pandu Dewanata bersabda: " Pangeran Narasoma. Dari awal sudah saya katakan, sebagai ksatria kalah atau menang bukan satu-satunya yang harus diperebutkan. Oleh karena itu kekalahan dan kemenangan dalam pertempuran tidak boleh merusak keutamaan dan kemuliaan jati diri seorang ksatria. Peperangan yang terpaksa kita lakukan adalah sebagai bagian dari pelaksanaan pengabdian darma bakti kita dalam menjunjung tinggi dan menegakkan kebenaran dan keadilan di jagat raya ini. Oleh sebab itu saya sangat hargai ketulusan pengakuanmu. Aku terima adindamu, akan aku haturkan kepada ayahandaku Prabu Bagawan Abiyasa di Hastinapura. Sementara Andika Pengeran Narasoma, segera kembalilah ke Negerimu. Tenteramkan kawula wdya negeri Mandaraka. Mereka menunggu pengabdian para ksatriatama. Tetaplah kita menjadi mitra yang saling menghormati. Sampaikan salam persahabatan saya beserta seluruh kawula wadya negeri Hastinapura untuk para kawula wadya negeri Mandaraka."
     Selesai mengatakan pesannya Raden Pandu Dewanata maju meraih kedua belah tangan Pangeran Narasoma dan mearangkulnya erat sebagai awal persahabatan yang tulus dari kedua negeri.
     Sorak-sorai membahana mengiringi Raden Pandu Dewanata yang dijemput oleh Dewi Kunti Talibranta diiring para dayang-dayang kedaton Mandura. Sekali-lagi Dewi Kunti menampakkan keagungannya. Begitu dekat dengan Dewi Gandari dan Dewi Madrim  maka ia berjongkok meraih keduanya dikanan kiri untuk diajak bersama mengiring Raden Pandu Dewanata memasuki Kedaton menghadap Maharaja.
     Sepulangnya ke negeri Hastinapura, yang diiringi pasukan pengawal dari kerajaan Mandura, disambut meriah gegap-gempita tidak saja oleh sebregada pasukan kawal kehormatan kerajaan Hastinapura tetapi hampir seluruh kawula Hastinapura. menyambutnya bak pahlawan perang yang pulang membawa kemenangan.
     Sesampai di Istana Hastinapura, atas nasihat ayahanda Prabu Bagawan Abiyasa, Pangeran Sulung Destarastra diberikan kesempatan pertama memilih satu di antara tiga putri ayu tersebut. Sebagai penyandang caca netra, maka Pangeran Destarastra lebih memilih putri yang menurut pendengarannya bersuara paling merdu, dan berkulit paling halus mulus ketika diraba telapak tangannya. Akhirnya pilihan jatuh kepada Dewi Gandari. Dewi Gandari yang semula ingin dipersunting Pangeran Pandu, dalam hati kecewa dan merasa dijebak untuk menjadi istri Pangeran yang menyandang tuna netra. Mulai saat itulah Dewi Gandari berjanji akan menutup kedua matanya dengan kain hitam, sebagai tanda bakti kepada suami dan demi ikut merasakan kegelapan yang dialami Pangeran Destarastra. Bersemilah bibit sakit hati dan dendam Dewi Gandari. Tidak akan puas hatinya sebelum berhasil membalaskan sakit hatinya kepada Pangeran Pandu dan anak-isterinya beserta seluruh kerabatnya. Oleh sebab itu semulia dan sebaik apapun sikap dan keutamaan Dewi Kunti terhadap Dewi Gandari ternyata tidak bisa menghapus dendam membara dan sakit hatinya. Betapa Dewi Gandari dan adik kesayangannya, ketika itu Aryo Suman, dipermalukan dan menjadi totonan raja-raja dan pangeran beserta wadya balanya dari seribu negeri di tengah alun-alun negeri Mandura. Hal itu begitu membekas dalam ingatannya. Semakin baik baik sikap dan perlakuan Dewi Kunti terhadap Dewi Madrim, semakin terasa menyayat-nyayat hati dan menoreh luka lamabahkan memupuk suburkan dendam yang membara di dalam hatinya.
     Maka ketikaDewi Gandari berhasil menguasai Kedaton Hastinapura kesempatan membalas sakit hatinya pelahan-lahan, tetapi pasti mulai dilaksanakan bersama adinda kesayangannya Aryo Suman yang kini diangkat menjadi patih negeri Hastina bergelar Maha Patih Aryo Sangkuni. Ia orang terdekat dan kepercayaan Maharaja Prabu Destarastra.     
     Keberadaan Dewi Kunti dan anaknya Pandawa ini bagaikan duri dalam daging bagi Dewi Gandari dan Maha Patih Sangkuni serta para pendukungnya.  Hal ini bersumber dari wibawa dan karisma mendiang ayahandanya Prabu Pandu Dewanata, masih berakar dalam hati sanubari para parampara, sesepuh pengambiil kebijakan dalam lingkungan istana kerajaan. Juga rasa sayang dan hormat dari kawula alit di seluruh negeri Hastinapura. Mereka masih sangat mendambakan dan menunggu-nunggu dengan sabar kembalinya maharaja bijaksana sebesar Prabu Pandu Dewanata.
     Kawula alit seisi negeri merindukan masa-masa indah jaman keemasan pada masa pemerintahan Maharaja Prabu Pandu Dewanata. Masa itu Negeri Hastinapura mengalami kemajuan dan kejayaan. Kemakmuran, ketenteraman dan kesejahteraan menaungi seantero negeri. Bahkan dari manca negara pun mengakui kebesaran Negeri Hastinapura, sehingga mereka sangat segan, menghormati dan menyayangi Maharaja Pandu Dewanata beserta seluruh keluarganya.  
     Dan yang paling menyesakkan dada adalah betapa Dewi Kunti begitu disayangi dan dihormati semua orang. Apa pun yng dilakukan Dewi Kunti selalu mendapatkan pujian dan menjadi pembicaraan para petinggi kerajaan.  Tetapi justru inilah yang membuat Dewi Gandari tidak nyaman. Dewi Kunti adalah salah satu saksi hidup  selain Pangeran Narasoma yang kini bergelar Prabu Salyopati di negeri Mandaraka, yang menyaksikan kejadian yang sangat  melukai dan menyakitkan hati di alun-alun Mandura saat itu. Mereka berdua yang mengetahui masa lalu dirinya dan adiknya  Mahapatih Sangkuni. Sering terbersit dalam pikirannya, betapa lengkap sudah kemewahan dan kesenangan ini apabila ia bisa menghapus kenangan buruk masa lalunya dengan jalan melenyapkan para saksi hidup ini.
    Sedangkan Prabu Destarastra sendiri sebenarnya tidak tahu apa-apa mengenai masa lalunya. Kakak kandung Mendiang Prabu Pandu Dewanata yang kini menduduki tahta kerajaan ini begitu sayang dan hormatnya kepada Dewi Kunti dan putra-putranya. Sang Maharaja Destarastra selalu menegaskan di setiap kesempatan kepada siapa saja, bahwa dirinya hanyalah sekedar mengisi kekosongan tahta. Melanjutkan pemerintahan Mendiang Prabu Pandu Dewanata sebelum para Pandawa putra-putra Pandu menginjak dewasa dan siap naik tahta menggantikan dan meneruskan kekuasaan ayahandanya.
     Rekayasa Mahapatih Sangkuni hampir berhasil. Dengan menobatkan keponakannya putra Dewi Gandari dari Prabu Destarastra, Pangeran Duryudana, sulung Kurawa ini diwisuda menjadi Pangeran Adipati Anom, Putra Mahkota Kerajaan Hastinapura. Penobatan ini sendiri tidak pernah direstui Ayahanda Prabu Destarastra yang walau menyandang tuna netra sejak lahir, namun kecakapannya, penguasaannya terhadap angger-angger aturan ketata-negaraan dan kesaktiannya, cukup dikenal luas. Kelemahannya bukan karena tuna-netranya, tetapi lebih dikarenakan oleh betapa besarnya rasa cintanya kepada permaisuri Dewi Gandari . Permaisuri yang cantik jelita, seorang putri raja yang sangat setia dan penuh pengabdian.
      Oleh sebab itu sudah bukan rahasia lagi, bahwa kelemahan pelaksanaan pemerintahan Prabu Destarastra lebih banyak disebabkan oleh pengaruh sang permaisuri tercintanya. Sedang berbagai penyimpangan pelaksanaanya lebih banyak disebabkan oleh reka-yasa adinda sang prameswari Adipati Gandara Mahapatih Aryo Sangkuni