Jumat, 22 Oktober 2010

kangsa adu jago, lanjutan (2) cerita imajiner wayang jawa

Lanjutan (2)

Kangsa adu jago, cerita imajiner wayang jawa


Bima Bungkus
  
  Sebagai kebiasaan, sang Panenggak Pandawa, Bima bila hendak bepergian jauh, setelah pamit mohon restu dari ibundanya, selalu dia berhenti sejenak di halaman. Berdiri tegak memandang sang surya memohon kepada Hyang Maha Pencipta Alam Semesta perlindungan dan keselamatan untuk perjalanannya dan keselamatan keluarga yang ditinggalkannya. Kemudian cancut taliwanda mengencangkan kancing, ikatan  tali temali busananya. Tidak banyak busana yang dikenakan sang Bima. Sebagai ksatria putra maharaja Hastinapura, Bima terkenal sangat bersahaja dalam berpakaian. Selain dia sendiri tidak menyukai kemewahan, Bima hanya mau mengenakan pakaian yang ia sendiri memahami arti dan makna busana yang harus dia kenakan. Selain hal itu Bima yang terlahir bungkus, sudah mengenakan busana kadewatan yang dikenakan sejak menetas, keluar dari cangkang yang membungkusnya ketika lahir. Pakaian yang dikenakan langsung oleh Dewi Uma, Ratunya para bidadari itu melekat sesuai ukuran tubuhnya dan tidak pernah usang.
     Kelahiran Bima ke dunia ini sendiri merupakan peristiwa besar yang menggetarkan seluruh jagad raya, sehingga para dewa turun membantu dan memberikan penghormatan atas kelahiran jabang bayi raksasa yang bakal menjadi ksatriatama.
     Bima terlahir dengan keadaan terbungkus kulit ari-ari yang sangat kuat melindungi si jabang bayi. Tidak ada senjata yang mampu memecahkan untuk membantu mengeluarkan si jabang bayi. Atas petunjuk sang Kakek Maharesi Abiyasa, si jabang bayi bungkus tersebut agar di setrakan di tengah hutan Krenda Wahana, menunggu titi mangsa menetas atas kehendak Yang Maha Pencipta.
     Si bungkus yang menyerupai telur naga raksasa itu terus tumbuh makin membesar dan selalu bergerak menggelinding ke sana-kemari dengan mengeluarkan erangan mendesis, gemuruh menggetarkan seisi hutan. Getarannya sangat kuat sehingga daun-daun berguguran, buah-buahan rontok, pohon-pohon besar bertumbangan. Geger seisi hutan. Dewa-dewa dan bidadari kayangan turun ke bumi menyambut kelahiran manusia pilihan Hyang Maha Pencipta. Batara Narada, pujangganya para dewa memerintahkan putranya batara Gajahsena yang terkenal memiliki kekuatan luar biasa untuk membantu menetaskan si bungkus, agar jabang bayi segera lahir ke Marcapada.
     Dikisahkan ketika itu, Batara Gajahsena yang memiliki kekuatan sebesar lebih dari seribu kali kekuatan gajah liar, berusaha memecahkan si bungkus dengan gadingnya yang terkenal sangat tajam. Setajam tujuh kali lipat ketajaman pisau cukur. Namun apa yang terjadi. Ketajaman gading batara Gajahsena tidak mampu merobek atau membedah kulit si bungkus.
      Akhirnya para dewa dan bidadari semua terdiam bersamadi mohon petunjuk Hyang Maha Wenang. Dewanya para dewa itu memerintahkan Dewi Uma, ibu para bidadari permaisuri Batara Siwa Guru, untuk memandikan  dan memberikan Nama serta  busana kadewatan kepada si Jabangbayi, sehingga ketika keluar menetas dari bungkus, sang Jabangbayi sudah punya nama, bersih dan berpakaian lengkap. Batari Uma segera masuk ke dalam bungkus membawa air suci dari kayangan untuk memandikan si Jabangbayi dan mengenakan pakaian anugerah dari Sang Mahadewa dan memberikan nama Bima atau Bimasena atau Bratasena, atau Wrekudara atau Jodipati atau Gandawastratmaja.
      Pakaian itulah yang hingga kini dikenakan Sang Bima. Pakaian pemberian Dewata Agung yang tidak pernah usang dan selalu menyesuaikan ukuran tubuh sang Bima dari bayi hingga dewasa. Busana itu berupa kampuh poleng bang bintulu yang bermakna pakaian pembungkus. budi pekerti manusia adalah kampuh atau kain yang melindungi, menyelimuti hati nurani bercorak poleng, warna merah, kuning, hitam dan putih. Masing-masing warna merupakan lambang-lambang hawa napsu yang menyelimuti hati nurani dan akal budi manusia. Warna merah, melambangkan kemarahan dan keberanian. Kuning melambangkan keinginan, iri dengki dan keserakahan. Warna hitam melambangkan kegelapan, kebencian, dendam dan kematian. Warna putih melambangkan kesucian, kejujuran dan kesetiaan. Semua pembungkus yang menyelimuti hati nurani dan akal budi ini harus ditata, dikendalikan dan dikunci dengan kancing peporong kepala naga raja yang melambangkan semua kekuatan hawa napsu itu harus diikat dikendalikan dengan kekuatan yang benar-benar tangguh sekuat lilitan naga raja. Sedangkan kelat bahu berupa balibar manggis yang terbelah dengan seluruh kendaganya, melambangkan kesungguhan sang Bima menerapkan dan menegakkan kebenaran dan keadilan. Dengan cara yang sangat lugas merata kepada siapa saja baik kepada orang besar, manusia jelata, orang tua, muda, kaya dan miskin semua mendapatkan bagiannya sesuai haknya.
     Sumping kencana rekaan sekar pudak. melambangkan keharuman budi pekerti sang Bima yang seimbang kanan kiri atas bawah. Sekar pudak yang ujudnya kurang begitu indah tetapi keharumannya merata dari luar hingga ke dalam bahkan seluruh daun dan akarnya semua menebarkan aroma harum mewangi.
     Pupuk emas putih yang bertengger di tengah-tengah dahi pelarapannya  berujud rekaan jarotnya buah asam, melambangkan budi pekerti dan sikap hidup sang Bima. Meski ujud bentuk badannya tinggi besar dan kasar bagai raksasa, namun dalam hati sanubarinya berkembang pemikiran yang halus dan ngrawit bagaikan ngrawitnya serat jaorot buah asam,
     Dalam kisah, setelah Dewi Uma selesai memandikan dan memakaikan busananya, kembali Batara Gajahsena membedah si bungkus dengan gadingnya. Bersamaan dengan turunnya anugerah Dewata Agung terkoyaklah selaput kulit si bungkus. Karena terkejut bayi raksasa ini mencengkeram kedua bilah gading Batara Gajahsena. Karena kekuatan cengkeraman dan mendapatkan tendangan kaget dari sang Jabangbayi, maka terlemparlah batara Gajahsena ke angkasa. Sepasang gading ampuhnya tercerabut dan tertinggal dalam genggaman sang jabangbayi. Sepasang gading ampuh itu menjelma menjadi kuku Pancanaka yang kelak akan menjadi senjata andalan sang Bima.
    Syahdan Batara Gajahsena yang terlempar tinggi ke angkasa turun lagi ke bumi ingin mengambil kembali gadingnya. Namun atas nasihat Batara Narada disarankan agar sebaiknya Batara Gajahsena menyatu saja dengan sang jabangbayi. untuk sama-sama memiliki gading pusaka ampuhnya untuk digunakan menjaga dan menegakkan keadilan dan kebenaran di Mayapada bersama para ksatria. Batara Gajahsena setuju menyatu dengan seluruh kesaktiannya dalam kehidupan dunia sang Bima, sehingga Bima kini bertambah kekuatannya melebihi kekuatan seribu kali gajah hutan, karena penjelmaan Batara Gajahsena. 
     Selesai meneliti dan mengencangkan tali-temali busananya Bima segera memateg  ajian bandung Bandawasa, serta ajian Wungkal Bener. Kedua ajian ini memberi kekuatan kepada sang Bima untuk bisa melompat dan berlari kencang karena didorong bayu bajra angin topan dari belakang. Dan ketika berlari sang Bima tidak pernah berbelok, sehingga kalau melintasi sungai bengawan dilompati, samudra digebyur, gunung didaki dan lembah dilangkahi.
     Seketika mulai terasa bertiup angin semilir dari belakang, makin lama makin  kencang, pertanda mulai terbit kesaktian ajian Bandung Bandawasa. Serentak angin topan meniup bagai prahara menderu menerbangkan sang Bima hilang dari pandangan mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar